Gatta

Cerpen: Anis K Al-Asyari.

Mulanya kami tidak berani keluar rumah saat gendang bertabuh. Lama-lama kami memaksakan diri melesat lewat jendela. Orang-orang tua kami sudah berkumpul di sebuah halaman sekolah berjingkrat-jingkrat menutup telinga. Di wajahnya terlihat lenting keringat kental telah menyerupai topeng. Gendang terus mengeram, cambuk mengayun sekali-dua kali mengenai banyak tubuh. Darah menghempas ke udara seperti serpihan lumpur kecoklatan.

Kami merayap dari balik semak-semak dan rindang pohon bambu yang memagari gedung sekolah. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali melilitkan baju pada mulut kami agar kesedihan tidak tumpah ruah. Dan kami tak ketahuan oleh pasukan berwajah muram penenteng gendang gendut itu.

Sejak malam itu, kami sedikit paham apa yang selalu terjadi pada malam-malam sebelumnya. Orang-orang tua kami meninggalkan rumah dikumpulkan sebagaimana kami di sekolah ketika menjelang upacara. Lalu digiring menyusuri jalan yang membelah perkebunan karet.

Gendang berhenti bertabuh. Kami terus mengintai dari belakang. Orang-orang tua kami terlihat seperti tahanan pidana mati. Kaki-kaki mereka berat seolah rantai besi mengikatnya. Suara kaki nyaring bercampur dengan sengal nafas yang lelah. Pada sebuah tempat, tepat di depan semacam kamp penjagaan, seorang lelaki berdiri disana menyebut nama satu persatu. Setiap yang disebut akan bergerak ke kiri atau ke kanan, ke arah yang sepertinya telah mereka paham betul.

Dalam beberapa saat saja, kami tak melihat lagi kerumunan seperti sebelumnya. Para lelaki penabuh gendang telah masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang cukup untuk sekedar istirahat. Tapi, lelaki di atas menara yang tingginya tidak lebih dari tiga meter tetap terjaga dengan senapan angin di tangannya. Matanya liar seiring tubuhnya yang berputar-putar mengamati setiap yang bergerak.

Kami masih belum berani mendekat. Tidak ada yang lebih penting kecuali menghindar dari jangkauan mata penjaga itu, tetapi dengan terus merayap di parit-parit tak berair, kami berhasil melihat sebuah pemandangan sungguh memilukan: orang-orang menari-nari di bawah pohon karet yang lurus menjulang. Matanya menyala mengamati getah gatta menetes lambat ke bawah mengisi sebuah kaleng plastik. Beberapa tetes kadang merembesi wajah mereka, membentuk semacam gundukan bekas luka yang membengkak.

Tetesan itu lambat bahkan kadang berjam-jam lamanya baru muncul lagi. Tapi, tarian yang kencang memabukkan seolah mengundang getah meresap keluar dari batang pohon gatta lebih cepat. Bibir orang-orang tua kami terus mancung menjulur di dekat kaleng penadah getah sementara kakinya mengayun tiada henti. Bibir itu persis bibir kami yang bertahun-tahun menghisap air susu ibu yang renyah. Kaki-kaki itu seperti kaki kami yang merontah ketika kami menangis karena kehausan air susu.

Malam semakin senyap, riuh burung-burung malam yang melintas berpuluh-puluh banyaknya seperti sedang menonton pertunjukan itu. Tapi, suara kaki-kaki yang terus menari dan lentingan getah jauh lebih bising. Kami tak bisa menahan sedih, paru-paru kami seperti disekap kain kasah. Tapi, karena kami masih terlalu kecil untuk menghentikan semua itu maka kami lebih memilih kembali ke rumah masing-masing dengan kekagetan. Kaki-kaki dan tangan kami tergores mengeluarkan darah segar yang tiada kami rasakan sakitnya.

Kami terus merayap hingga tubuh kami bisa bangkit dan menyusup dalam gelap. Berlari sekencang mungkin, melewati bekas-bekas kaki kami sendiri hingga tiba di rumah masing-masing menemui sepi yang tidak asing. Begitu sulit memejamkan mata, begitu tidur menyerang, seolah terdengar bunyi gendang gendut itu bertabuh demikian hebatnya.

Pagi-pagi sekali, kami menemukan tubuh orang tua kami seperti baru kembali dari perjalanan bermil-mil jauhnya. Setiap kami mencoba bertanya dan menegur bekas luka yang tergores di salah satu bagian tubuhnya, kami disekap senyum, pelukan hangat. Beberapa lembar uang jajan diselipkan di balik kanton baju sekolah kami dan kami pun berangkat melewati jalan senyap yang membelah perkebunan.

***

Sekolah dengan bangunan sederhana, halamannya selalu dipenuhi dedaunan kering yang menghembus dari perkebunan gatta. Selama tujuh tahun kami menghabiskan waktu di sana, belajar sejarah dan etika. Setiap tahun, pihak sekolah pun menyelenggarakan berbagai macam lomba, dari tarik tambang, lari karung, sampai lomba mengumpulkan ranting tua yang berserakan di bawah pohon gatta.

Kami bisa bebas bermain hingga ke tengah perkebunan. Tapi, seperti biasa saat gendang berbunyi di awal malam, kami dipaksa belajar sungguh-sungguh mengerjakan tugas sekolah. Orang tua kami berangkat kerja dan akan pulang menjelang subuh.

Bertahun-tahun berlalu, tapi hari-hari seperti terus berulang. Masa sekolah terlewatkan dan orang tua kami masih seperti dulu. Tubuh kami tumbuh dan semakin jarang bertemu untuk bermain seperti dulu. Kami merasa telah dewasa secara perlahan, kami tidak lagi bisa merayap bersama melewati perkebunan mengamati orang-orang tua kami diam-diam.

Kisah itu akhirnya hanya menjadi kenangan masa kecil. Teman-teman yang selesai sekolah akan menyetorkan ijazahnya pada pihak perkebunan. Bekerja dan hidup berkecukupan, memiliki sepeda-motor, menghidupi keluarganya dari tetesan keringat. Begitu gendang bertabuh mereka pun lekas berganti pakaian, berlari terbirit-birit dan seperti biasa akan berkumpul di halaman sekolah. Cambuk berkibas membentuk lingkaran yang meranggas mengenai banyak tubuh.

Dahulu kami bersahabat akrab dan selalu punya cerita yang sama. Jumlah kami lebih dari satu kompi tentara, kami selalu bersatu bahkan untuk melawan anak-anak lainnya yang datang dari perkampungan sebelah yang warganya bekerja sebagai petani sawah dan penggarap kebun. Tanah mereka berbatasan langsung dengan area perkebunan, tapi bertahun-tahun lamanya warga tersebut mungkin tidak pernah menemukan pertunjukan setiap malam di perkebunan itu, kecuali suara gendang seolah tanda pesta makan malam dimulai.

Hingga suatu hari, ketika kami sedang mengisi formulir peminjaman dana kredit usaha kecil, sebuah senapan meletup dari berbagai penjuru yang kedengarannya di hamparan pohon gatta yang beku. Desir peluru diselingi tabuh gendang demikian keras lebih dahsyat dari biasanya.

Siang itu, kami menyaksikan beberapa teman kami yang bekerja sebagai buruh perusahaan bergerak serentak diikuti orang-orang dengan betis tipis dan nafas tersengal. Mereka menuju pusat letupan, dari dekat terlihat sejumlah orang terus menderu seperti angin. Melempar dengan batu, menabuh dadanya yang busung sambil mencabut badik dan terus melaju hingga pertempuran pun pecah sebagaimana kaleng-kaleng penadah gatta yang tumpah ke tanah satu persatu.

Tidak hanya itu, sambil terus mengibas-ngibaskan pedang dan badik ke tubuh para buruh. Orang-orang itu pun menebangi pohon gatta, pohon demi pohon terjungkal seperti terlumat peluru di otaknya. Beberapa saat setelahnya, satu persatu buruh terkulai lemas, tangannya bertumpuh pada batang pohon gatta. Memeluk erat hingga datang lelaki yang segera menebang pohon, menebasnya bersama jasad yang tersisa dan berlindung pada pohon yang beku.

Teman-temanku yang buruh itu, orang tua kami, tiada lagi terlihat. Berpuluh-puluh pohon rata dengan tanah, saling memeluk bersama buruh yang terkulai. Sementara tak sedikit juga dari warga yang tersengat peluru, dari atas kamp penjagaan peluru menggemuru amat deras. Melesat di kepala sejumlah warga, satu-dua peluru masih menguatkan langkah mereka untuk terus melaju hingga berhasil menancapkan badik di perut sang penembak. Warga yang tertembak kemudian merebahkan tubuhnya pada batang pohon, tangannya masih sempat menumpahkan kaleng plastik yang setengah penuh berisi gatta.

Tak berselang lama, para warga telah berada tak lebih dari lima puluh meter di depan tempat kami mengamati peristiwa berdarah itu. Aku, dan dua temanku berlindung dengan mencoba merayap di tanah, rumput-rumput terlampau kecil rupanya. Begitu kami membuka mata, ujung badik sudah menempel di leher kami yang basah keringat.

“Kamu buruh juga, pendukung orang asing itu?” Pertanyaan itu menggema seperti gempa, tubuh kami menggigil. Mulut kami terkunci dan begitu seorang diantara mereka mulai mengayunkan pedang ke kepala kami, kertas-kertas terburai dari jemari yang ketakutan. Mereka membaca sekilas formulir yang sudah terisi itu, wajahnya semakin memerah, matanya buas seperti serigala. Pedang yang berlumuran darah itu kulihat bergerak seperti akan mengecup keningku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menutup mata, Suasana itu mengingatkan aku masa kecil ketika kulihat orang-orang dicambuk dan serpihan darahnya meleleh ke tanah.

Orang-orang itu pasti semakin marah apalagi setelah melihat formulir itu, pasti mereka berpikir bahwa kami adalah bagian dari orang-orang yang selama ini hidup dari perusahaan. Pelan senyap, yang terdengar hanya hentakan tangan yang mengayun tapi suara senapan jauh lebih dulu bertalu-talu dari arah yang terasa sangat dekat. Kami membuka mata dan menyaksikan orang-orang di depan kami bersama-sama menikmati sebuah tidur siang. Kulihat peluru bersarang di kepalanya, di perutnya, di kakinya. Lalu, suara teriakan mucul semakin dekat, rupanya setelah polisi mucul menghempaskan tembakan ada sekitar seratusan lebih buruh menyusul dari belakang dengan persenjataan mirip dengan warga yang menyerang.

Perang pun pecah antara buruh dan warga. Perkebunan telah menjadi arena saling membunuh hingga perdamaian bisa tercapai setelah korban berjatuhan sebegitu banyaknya. Beberapa orang ditangkap, diantara mereka adalah teman sekolahku dulu dari kampung sebelah yang sering menjadi musuh bebuyutan kami. Mereka dipenjara bertahun-tahun meski suasana sudah puli kembali.

Para buruh kembali bekerja, bunyi gendang masih seperti dulu. Getah gatta memenuhi kaleng-kaleng plastik, pohon-pohon ditanam kembali kecuali di bekas kejadiaan naas itu, di sana pihak perusahaan sengaja menjadikannya lokasi pemakaman umum. Para korban dari pihak buruh dan sebagian warga dikubur di sana. Orang-orang kelihatan berdamai dengan saling melayat, keluarga mereka setiap saat bertemu dengan mata berkaca-kaca di pemakaman. Tanpa saling menegur, kehidupan mereka tetap saja kelihatan sangat bertolak belakang.

Para warga setiap saat mengunjungi sanak-keluarganya di penjara, membawa makanan sambil memberi semangat. Sementara para buruh terus bekerja menari-nari di bawah pohon karet dengan mulutnya yang mancung.

Jalan sunyi yang membelah perkebunan karet pun lengang dan senyap begitu senja tenggelam. Kami jarang bertemu seperti dulu ketika kami setuju untuk mencari tahu kenapa kami dilarang keluar rumah saat gendang bertabuh. Kini, kami paham jawabannya: aku sibuk membayar cicilan kredit pinjaman setiap bulan, teman-teman lain bekerja siang-malam untuk kehidupan keluarganya dengan pengawasan ketat, sekolah kami kini bertingkat, orang tua kami telah menikmati sakitnya di masa lansia. Pohon karet terus memuntahkan getahnya dan para warga terus meludah di atasnya.

Bulukumba, Jakarta, Bogor, Makassar 2008

Catatan:

*Gatta: karet (pohon karet)

1 Comment:

  1. Anonim said...
    assalmialaikum.wb.wt.
    Surianti Bte Jupri

Post a Comment