Rumah Parihem

Rumah Parihem

Cerpen: Anis K. Al-Asyari.

Di atas meja kayu, Parihem duduk dengan mata mengawan-awan. Di luar rumahnya gendang terus bertabuh seperti sore di hari-hari sebelumnya. Anak-anak kecil membawa pisau dan gelas pelastik. Parihem tetap berdiam sambil menunggu sayup-sayup suara tentang siapa yang kena giliran kali ini. Jika bukan tetangganya, Masena, perempuan yang ditinggal suaminya, mungkin dirinya. Atau jangan-jangan tak lagi ada pilihan lain, ia terus menunggu pintunya didobrak dengan teriakan menggunung lalu akan terseretlah tubuhnya menuju sebuah lubang menganga. Dan mati.


Pohon-pohon tak bergeming ketika akhirnya seorang perempuan telah terseret ke tempat biasa, di sebuah bukit. Masena! Seperti dugaan Parihem. Tubuh perempuan itu disayat-sayat pisau dari tangan-tangan penduduk yang seperti menari. Anak-anak lalu berkerumun menadah darah Masena yang menetes seperti mata air dengan gelas plastik. Dalam hitungan menit, tubuh asena seperti lilin yang meleleh.


Gendang berhenti bertabuh, sepanjang jalan berceceran darah. Orang-orang berkerumun kembali ke rumahnya masing-masing. Mulut mereka memerah, bau anyir melesat di setiap tarikan nafasnya. Anak-anak kecil seperti mabuk, gelas pelastik di tangannya setengahnya telah diseduh, darah Masena menjalar ke setiap tubuh. Dan malam yang datang beberapa saat setelah jalan begitu lengang mengundang burung-burung liar terbang lebih rendah. Burung-burung itu turut mencicipi darah yang sempat tercecer sambil meraung-raung.


Parihem mulai naik ke ranjang, ia membiarkan jendela rumahnya terbuka dimana ia bisa menerawang lebih dekat bagaimana burung-burung itu berkelahi memperebutkan makanan. Angin berhembus masuk ke rumahnya seolah-olah ada tubuh Masena yang ikut terhempas dengan wajah pedih. Mata masena semakin terbayang seperti berhadapan langsung dengan matanya.


Beberapa saat sebelumnya, Parihem bertemu Masena di kaki bukit, ketika keduanya berpapasan saat hendak menyeberangi sungai yang airnya cukup deras. Masena terlihat semakin tua melampaui usianya yang masih tiga puluh delapan tahun. Jalannya gontai, di matanya seperti ada gumpalan batu yang menyumbat dari dalam sehingga meski telah berkaca-kaca di kelopaknya pada dua bola matanya tiada terlihat air mata menggenang.


Parihem sempat meraih tangan Masena, lalu mereka berdua seperti sepasang pengantin dengan jalan hati-hati sampai ke tepian. Setiap kali Parihem melihat Masena, setiap itu pula ia seperti bertemu dengan Laila, isterinya. Hari-hari setiap menjelang tidur atau diwaktu-waktu yang tak ia sengaja, Masena selalu menjelma di hadapannya. Parihem memeluk perempuan itu, seperti pengantin baru di malam pertama—Parihem tidak ingin kehilangan.


Angin kencang dan dingin yang merembes ke kulit Parihem membuatnya terbangun, tersadar betapa ia sedang dalam sendiri. Masena di rumahnya, mungkin tidak bisa tidur sebab setiap saat orang-orang kampung akan datang menyeretnya mendadak. Dan tak ada malam yang bening bagi keduanya. Gendang bisa bertabuh seperti petir tiba-tiba dan kematian seperti tidak ingin tawar-menawar.

***
Di sebuah bukit, lubang menganga kini nyaris tak ditumbuhi rerumputan. Hanya ada pohon-pohon tinggi disana yang daunnya tak seberapa. Anjing-anjing selalu berkumpul seperti sedang menunggu perjamuan makan.

Satu persatu penduduk diseret dan disayat-sayat di lubang itu. Sebelum Masena, dua lelaki tua juga menemui ajalnya disana. Keduanya selalu ditemui di pintu masuk pasar menenteng topi terbalik. Dan orang-orang yang kasihan akan melemparkan uang seribuan, kadang dengan kasar seperti sedang meludah.


Ketika orang-orang kembali dari pasar, kedua lelaki itu akan berjalan ke rumahnya masing-masing membawa bungkusan makanan untuk persediaan satu minggu ke depan. Hari pasar hanya sekali, karena itu ia selalu bekerja keras menjadi boneka di pintu pasar. Namun, suatu ketika satu diantara keduanya terserang sakit yang secara pelan-pelan membuatnya tinggal
di rumah dengan tubuh yang terus mengecil.


Di sebuah gubuk tempatnya hidup bertahun-tahun sendiri, ia hanya bisa menunggu keajaiban. Kadang sahabatnya yang juga pengemis membawakannya roti kering dan sebatang rokok. Hingga suatu waktu, gendang bertabuh tepat di sebuah sore yang tak pernah ia bayangkan. Gubuknya dibakar massa. Pertama kali ia melihat kerumunan anak-anak kecil yang membawa pisau dan gelas-gelas pelastik lalu tubuhnya terseret melewati jalan yang
sangat ia kenal ujungnya.


Lelaki itu menghadap ke langit, ia teringat sahabatnya sambil terseduh-seduh, ia tidak lagi sempat bertemu. Sebelum pisau menebas lehernya, ia melihat ke bawah lubang dimana ia seperti menemukan wajah sahabatnya itu tersipu-sipu malu. Dan sore itu anak-anak seperti menggelitik tubuhnya dengan pisau, ia teringat masa kecilnya, teringat ketikabaru saja keluar dari rahim ibunya. Teringat ketika dalam rahim ibunya bermain-main sendiri—lalu teringat ketika pernah ia tiada. Darah meleleh di setiap lekukan tubuhnya terus tumpah hingga ia melihat tak setetes pun tersisa. Anak-anak menadah darahnya dengan gelas pelastik. Seperti biasa, orang-orang akan menghisap setiap resapan darahnya dengan mulut-mulut yang buas kelaparan.


Riwayat tentang dua orang pengemis yang bertahun-tahun menjadi patung di pintu pasar
kemudian berakhir. Beberapa saat kemudian, satu pengemis lagi nyaris mati ditempat, ketika mesti bertahan dari serangan pasukan berseragam yang melarangnya mengemis di tempat yang sudah seperti rumahnya sendiri.


Tubuhnya diseret ke jalan raya. Pengemis itu kemudian berjalan kembali ke rumahnya
menemui anak dan isterinya dengan sebuah pesta sedehana: pesta air mata. Minggu berikutnya, ia akan datang mengemis di pintu pasar, namun ketika hanya satu-dua kepingan koin terseduh di topinya, pasukan berseragam lalu mengusirnya dengan tendangan sepatu laras. Pengemis itu terpaksa kembali menikmati pesta air mata yang semakin besar bersama keluarganya. Tapi, ia akan tetap kembali mengemis, sebab di tempat itu ia sudah merasakan hidup bertahun-tahun.


Hingga suatu siang dengan jalan gontai ia melesat masuk melewati pintu terbuka dimana ia menemukan isteri dan anaknya tergeletak. Air mata di wajah keduanya telah mengering menutupi kelopak matanya seperti lem pengerat. Pertama kali ia memegang perut isterinya lalu anaknya. Sang pengemis itu, seperti tak memegang apa-apa kecuali tulang-tulang yang menjulang.


Dua kematian di rumahnya membuatnya seperti ingin mengamuk. Tapi, bekas-bekas pukulan ditubuhnya membuatnya sadar betapa ia tak punya daya untuk sekedar memporak-porandakan rumahnya sebagai pelampiasan. Lelaki itu duduk di antara kedua jasad beku lalu meraih sebuah badik di balik kasur ranjang besi tua dan menikam perutnya. Tangannya mengayun untuk kali kedua, tapi otot-ototnya semakin kaku dan ia terbujur dengan nafas tersengal dan mata terbuka menahan pedih.


Lelaki itu tak sabar menunggu detak jantungnya terhenti bersamaan dengan darahnya yang akan habis tertumpah di lantai. Namun, ketika ia mencoba lagi menusukkan badik itu pelan ke lehernya, suara gendang lalu bertabuh. Dan orang-orang melesat seperti burung-burung merpati ke rumahnya. Menyeretnya keluar, sementara tubuh anak dan isterinya ditinggal
begitu saja. Lelaki itu terus berteriak, namun orang-orang menyeretnya cepat. Dari kejauhan api telah memeluk gubuknya mungkin bersama kedua orang yang paling dicintainya dan ia menyesal kenapa ia tak mati bersama mereka.


Di kaki bukit tubuhnya tersayat-sayat. Sisa-sisa darahnya pun diperebutkan burung-burung ketika tiba malam. Tidak banyak yang tahu jika kedua pengemis itu sahabat Parihem. Mereka memang diam-diam selalu berbagi kasih. Mereka pun selalu bertemu dan berkumpul di rumah Masena sambil menikmati sup air mata.


Di bekas gubuk mereka lalu berdiri rumah-rumah baru yang dibuat dengan berpuluh-puluh orang dan berpuluh-puluh tiang penyanggah atapnya. Rumah-rumah itu akan dihuni oleh orang-orang yang jarang terlihat berjalan menuju pasar atau sedang berjalan kaki melihat pohon-pohon begitu indahnya di pagi hari.

***
Beberapa saat setelah Masena meninggal, gubuknya telah rata dengan tanah dalam sekejap. Dari atas pohon kelapa, Parihem melihat rumah itu tiba-tiba menghilang dan seperti tak ada tanda-tanda jika di tempat itu pernah hidup seorang perempuan yang selalu membuatnya terkenang dengan isterinya.

Ia menangis terseduh di atas pohon itu. Tapi, yang lebih menyedihkan adalah ketika ia melihat kampung yang ketika ia kecil hanya ada rumah yang bisa dihitung jari. Rumah-rumah yang dibuat dari kayu jati yang ditanam sendiri oleh penduduk. Atapnya dari rumbia yang disulam dengan sangat telaten dan penuh gotong royong. Dan di atas kelapa itu ia melihat rumah-rumah di kampungnya telah menjelma seperti kuburan yang dibuat mewah dari ubin berwarna-warni.


Sebelum ia turun secara perlahan, ia hanya menemukan gubuknya satu-satunya yang lain dari rumah-rumah itu. Dengan kaki yang gemulai dan lambat ia sampai ke tanah lalu masuk ke rumahnya. Ia duduk di atas meja kayu dan menunggu gendang bertabuh.


Hari-hari dimana ia terus menunggu gendang bertabuh. Ia ingin mati di kampungnya itu seperti orang-orang terdahulunya; dua lelaki pengemis, Masena, kedua mertuanya dan berpuluh-puluh orang kampung yang tidak akan mungkin dilupakannya. Mayat-mayat mereka yang terseret ke lubang maut di kaki bukit di kampungnya sendiri. Dan burung-burung yang selalu berpesta di atas ceceran darah yang tersisa di jalanan.


Di suatu sore, ketika dari jauh gendang bertabuh, ia dihantui kecemasan. Apakah ia sungguh-sungguh bernasib seperti pendahulunya? Dan orang-orang itu akan terus menikmati pesta pora hidupnya di atas kematian demi kematian? Gendang bertabuh semakin dekat, ia menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba, tubuhnya seperti kembali muda, tangannya bergerak sibuk mengumpulkan sisa-sisa pakaian anak dan isterinya sebagai kenangan.


Parihem melesat seperti peluru yang tak kembali. Melewati jalan-jalan dan berpuluh-puluh orang yang menunggunya. Parihem melintasi bukit demi bukit, masuk ke kampung yang baru. Dan ke kampung yang lain. Berpindah-pindah. Pakaian anak dan isterinya terus di tangannya. Hingga di suatu waktu ia merasa betah di suatu kampung yang terasa damai. Namun beberapa tahun kemudian ia mendengar sebuah riwayat yang sama, orang-orang diseret di sebuah bukit yang terjal. Dan anak-anak yang membawa pisau dan gelas pelastik—menyanyat tubuh dan meminum darah segar.


Parihem meninggalkan kampung itu. Ia pergi sendiri dan tidak lagi ingin tinggal di mana pun. Di rumah sebagus apa pun? Dan di rumah siapa pun? Itulah yang bisa membuatnya selalu terhindar dari kutukan bunyi gendang bertabuh. Kini, setiap saat ia menjadi saksi orang-orang yang terseret ke sebuah lubang lalu disayat-sayat oleh kerumunan orang seperti pestasembahyang berjamaah.


Parihem kini di rumahnya sendiri—di dirinya sendiri. Dan sekali waktu mungkin pernah bertemu dengan ANDA!


Kado
akhir tahun untuk Divta Didjiwa Pherydewa

Rajawali, 2008

;;