Rumah Air

cerpen: Anis K Al-Asyari.

Lebih sebulan air pasang di balantieng. Pohon-pohon tiada lagi baris-berbaris di sisinya, sungai itu telah menyerupai sawah menghampar siap tanam. Rumah-rumah pun tubuh dan tubuh terseret ke mana-mana bahkan ke muara. Perkampungan jadi lapangan sepak bola. Kematian tak terhitung banyaknya. Orang-orang menggigil berlari ke bukit memeras air mata dan bernyanyi eh puang salimara-salimara.

Setahun telah berlalu. Rumah-rumah panggung bangun kembali. Berderet-deret di sisi balantieng, wajahnya cemas dan jendelanya terbuka terus. Walau air telah surut seperti semula, perkampungan tiada seramai sebelumnya. Anak-anak tak banyak ditemui bermain air atau mencari doang. Riuh air terdengar lembut di telinga ketika malam hari nan dingin.

Rumah terasa berenang di permukaan air, melenggok-lenggok, bernyanyi. Burung-burung berseruling, berdendang pula ikan-ikan kerdil yang masih tersisa. Aminah terpaksa bangun tengah malam ia mendengar sebuah truk melintas depan rumahnya. Matanya melejit lewat cela kecil dan ia pun menyaksikan tiga truk berderet-deret melewati jalan sempit dengan perutnya yang kosong.

Truk itu berhenti tak lama kemudian, Aminah tahu persis apa yang sedang terjadi malam itu. Aminah terjaga, ia menunggu truk-truk itu melintas kembali dalam keadaan kenyang. Anjing menyalak mengejar-ngejar truk yang berjalan lambat tertatih-tatih. Perlahan jalan lengang dan gelap, anjing-anjing berpencar seperti sibuk mencari sesuatu yang hilang.

Pagi hari tepat ketika air sungai kehijauan nan dingin. Aminah segera ke ujung jalan sempit melewati pesisir sungai. Hamparan luas itu telah berubah jadi terminal pengangkutan batu-batu, kassi, dan kayu-kayu yang entah kenapa selalu datang setiap kali malam menanjak. Dahulu tempat itu adalah kebun cokelat Puang Mido, seorang petani yang tanahnya digugat oleh seorang pendatang yang mengaku ahli waris.

Puang Mido digugat ke pengadilan, tapi ia tak pernah mengindahkan surat panggilan. Ketika pejabat berwenang datang meminta bukti-bukti kepemilikan tanah, ia hanya bercerita panjang tentang masa lalu ketika tanah itu diwariskan untuknya dari seorang gurilla bernama Umar.

Kira-kira empat puluh tahun lalu, puang Mido dihadiahi tanah tersebut berkat jasanya sebagai penyiar agama dan passunna para lelaki baliq di kampung. Tidak ada surat perjanjiannya memang, tapi Puang Mido masih punya saksi hidup. Letenan Manra, dahulu tentara yang kebetulan terlibat langsung dalam pembunuhan Umar sempat mendengar dengan telinga sadar wasiat Umar. Dua anak laki-laki Umar masih hidup, keduanya menggarap sawah yang juga warisan dari ayahnya. Tentu saja sawahnya tidak dilengkapi dengan surat-surat.

“Bapak bertanya langsung pada ketiga orang itu?” seru Puang Mido.

“Kami butuh surat-surat pak, bukan bukti lisan” sela seorang petugas yang kemudian melangkah keluar dari rumah panggung berdinding gamacca. Orang-orang itu berjalan cepat menuruni tangga demi tangga dengan sentakan sepatunya seperti bunyi batu yang ditumbukkan ke permukaan kayu. Puang Mido mengelus dadanya menarik nafas dan terus dihantui keheranan. Berpuluh-puluh tahun lamanya petugas pajak datang menagih dan tanpa banyak cincong ia melunasinya dengan ikhlas. Kenapa juga datang orang yang mengaku ahli waris yang sesungguhnya? Di depan lego-lego, Puang Mido menggeleng-gelengkan kepala ia tak habis pikir dan terus dihantui keheranan.

Rumah Puang Mido persis di tengah kebun. Walau tergolong kecil, sebuah dapur dan jambangan, sebuah kamar tamu yang sekaligus sebagai kamar tidur, rumah itu tiada pernah kekurangan makanan. Beras selalu datang dari kerabatnya, selain itu isteri Puang Mido sangat tekun membantu sejumlah petani dan mendapat upah yang lumayan untuk hidup mereka berdua yang tomanang.

Ikan-ikan tersedia di sungai, dari ikan mujair sampai gabus. Sayur-sayuran tumbuh dipagar-pagar kebun meliuk-liuk ke pohon ambas seperti ular sanca. Hari-hari begitu menyenangkan dengan makanan yang dimasak sederhana dan sejup pepohonan dan riuh sungai dengan air bening.

Aminah masih ingat betul kisah bermain di sekitar rumah Puang Mido, membuka pagi dengan memeriksa tompong. Aminah bisa menyaksikan doang bergerombol dalam tompong dan ia selalu dapat jatah. Isteri Puang Mido senang anak kecil mungkin karena itulah ia pun memelihara anjing yang berkembang biak begitu banyak. Itulah pengganti anak-anak yang bertahun-tahun tak mengisi rumah sederhana tersebut.

Sebelum air pasang di balantieng penggugat tanah semakin gencar membujuk Puang Mido. Awalnya dengan bujukan ringan bahkan dengan tawaran sejumlah uang pengganti, rumah permanen di pinggir jalan trans-sulawesi atau tanah pengganti. Puang Mido tidak mau kompromi, ia tetap bersikeras tinggal di kebun tersebut meski harus menghadapi mati.

Dan sebuah kejadian naas menjelang bulan Agustus tiga bulan sebelum air pasang di balantieng, Puang Mido dan isterinya ditemukan beku di pintu pagar masuk kebunnya. Keduanya penuh luka, kedua matanya terbuka sementara kedua tangannya menggenggam erat kawat besi yang runcing. Petugas dan tim medis datang hendak mengangkat sepasang suami-isteri tersebut, namun tetap saja jemari mereka begitu kokoh berpegang pada kawat. Seorang petugas memotong kawat tersebut, tapi potongan kawat masih dalam genggaman keduanya.

Matanya masih menyala dan bibir yang sedikit terbuka seolah sinis pada setiap yang datang melihatnya. Barulah ketika Letenan Manra datang menyampaikan pesan dari Puang Mido semasa hidup, jasad keduanya bisa melunak. Keduanya dikubur tepat di pertengahan kebun miliknya. Pohon-pohon tumbuh subur di sekitarnya, air bening bernyanyi histeris.

Rumah panggung itu pun sepi, tiada lagi anak-anak kecil yang datang bermain. Anjing-anjing Puang Mido kemudian berkeliaran bebas melintasi kampung, semuanya berubah buas dan menakutkan bagi anak-anak. Aminah ingat betul ketika anjing-anjing itu memburuh sejumlah orang yang pada sebuah malam datang merobohkan rumah tua di tengah kebun. Tapi, sebuah senapan meletup berkali-kali, satu persatu anjing-anjing itu mati. Dan sebagian pergi menjauh. Keesokan harinya, Aminah melihat orang kampung menyeret jasad sejumlah anjing ke sungai, air mengalir lambat membawanya pergi jauh.

Di kebun Puang Mido terdapat sebuah papan bertempel tulisan sebuah nama yang berarti pemilik tanah tersebut. Aminah tak mengenal nama tersebut, ketika ia mendekat ke dalam kebun bersama teman-temannya ia melihat sisa-sisa pembakaran, pakaian, piring-piring plastik dan tompong Puang Mido. Semuanya jadi abu. Ketika siang datang bersama angin sepoi, abu tersebut beterbangan dan yang tertinggal hanya kuburan sepasang suami isteri, nisannya sudah tiada pula, hanya gundukan tanah yang dari hari ke hari ditumbuhi rumput yang subur lalu terlihat sama dengan permukaan tanah lainnya.

Sebulan kemudian, pohon cokelat rata dengan tanah. Sebuah pondasi tinggi muncul dari bawah tanah, pelan-pelan lalu berubah jadi bangunan menyerupai rumah tahanan. Di atas tanah tersebut telah berdiri gudang. Kuburan Puang Mido dan isterinya tiada lagi terlihat di sana, kuburan itu hanya ada dibenak orang-orang kampung.

***

Hujan menggila. Meranggas lebat tiada peduli waktu. Jalan sempit menuju gudang itu becek seperti adonan kue mentega. Tapi, truk-truk terus saja masuk dengan perut kosong dan keluar dengan perut sesak.

Sebuah bukit di hulu sungai mulai kelihatan, andai tak ada kabut mungkin bisa dihitung jari berapa kayu yang tersisa. Aminah sudah kelas 1 SMP, dahulu ketika guru kelasnya di kelas 3 SD menyuruhnya melukis bukit itu, ia bisa melukisnya dengan mudah. Cukup dengan menumpahkan pewarna hijau pada kertas gambar maka nampaklah pepohonan lebat seperti pada bukit itu.

Aminah dan teman-temannya tiada lagi bisa bermain di sungai sebab truk-truk itu kadang kurang ajar. Sudah banyak anak kecil jadi korbannya, tidak ada yang sempat meninggal tapi sejumlah anak cacat sampai tua. Pemilik gudang hanya menggantinya dengan uang berobat saat itu juga di Puskesmas terdekat. Dan sedos mie instan.

Ibu-ibu rumah tangga tiada lagi berdiam diri di rumah, sejak gudang itu berdiri semuanya bisa bekerja sekuat mereka. Balantieng penuh dengan batu dan kassi, mereka menguras sungai dari hari ke hari mengumpulkannya di tepian lalu truk-truk datang membawanya.

Sungai menganga dan semakin dalam. Setiap pulang sekolah Aminah hanya bisa bermain di tujubola. Sungai telah berubah jadi kering dan tak teratur. Kemarau berkepanjangan yang membuat debit air turun telah membuat sungai lebih mirip petakan-petakan sumur kecil. Dan batu-batu meranggas di mana-mana hingga ke tujubola.

Dan sebuah bulan penuh hujan membuat air mengamuk merembesi kaki-kaki bukit dan rumah-rumah tiada lagi nampak. Semua terseret arus, termasuk rumah kedua orang tua Aminah. Malam itu, Aminah dan Ayahnya sedang tidak di rumah ia menghadiri pengajian atas kematian pejuang veteran letenan Manra. Belum terlalu larut malam itu namun kebiasaan orang menyusup dalam selimut terlalu dini membuat kebanyakan orang terbawa derasnya air.

Gudang pun rata dengan tanah. Beberapa buruh yang telah terlelap tak bisa menyelamatkan diri, semua menjadi air. Dan air terus pasang, balantieng berdendang tidak sekesar bergoyang tapi juga melahap resana-kemari.

Itulah kisah setahun lalu, tapi selalu membekas. Kini, rumah-rumah bangun kembali dengan kecemasan. Pada malam hari angin dingin terpaksa dibiarkan menyusup ke dalam rumah. Jendela selalu dibiarkan terbuka. Gerimis yang lambat dan angin kencang selalu membuat orang-orang bersiap-siap untuk berlari ke atas bukit yang kerdil. Dan Aminah selalu terjaga pada malam hari tidak untuk berlari ketika air pasang tiba-tiba. Tapi truk-truk itu, setiap malam menanjak melintas masuk ke ujung jalan yang telah berubah jadi terminal. Dahulu tempat itu berdiri gudang dan lebih tepatnya, sebelum itu hidup seorang Puang Mido dan isterinya.

Aminah membuka pagi dengan gelisah, selalu begitu setiap hari setidaknya belakangan ini. Orang-orang berbisik-bisik tentang sebuah gudang baru yang akan dibangun. Dan truk-truk yang akan keluar masuk.

Di sebuah malam, Aminah berdiri di balik jendela, truk-truk lalu-lalang seperti dahulu. Tiba-tiba wajah Puang Mido menjelma di depannya, tersenyum sinis lalu terbang ke atas bukit pada pohon cemara yang kerdil. Mulai saat itu Aminah menutup jendela setiap kali malam larut dan mulai terbiasa pula dengan riuh truk-truk yang keluar masuk.

Macasar Agustus 2008

catatan

Balantieng (sebuah sungai di Bulukumba)

eh puang salimara-salimara.(nyanyian saat ada bencana alam)

doang (udang)

kassi(pasir)

gurilla (pasukan gerilya DI TII)

pasuunna (orang yang mengislamkan laki-laki)

gamacca (dinding)

lego-lego(bagian depan rumah panggung)

tomanang (keluarga tanpa anak)

tompong (alat penangkap ikan)

tujubola (kolong rumah panggung)

Merayakan Eksotisme Cerpen ASEAN

Oleh: Anis K Al-Asyari.

Masihkah cerita pendek (cerpen) memadati ruang pembaca? Ruang mencipta bagi sejumlah cerpenis? Atau ruang yang memikat untuk semacam pengantar diskusi di keseharian kita? Tiga pertanyaan di atas sepertinya tak banyak muncul dalam program penulisan cerpen Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung tanggal 28 Juli-2 Agustus 2008 di Cisarua Bogor. Yang dominan justru mengenai proses penciptaan karya yang bermetamorfosa, mencari bentuk dan beradaptasi terhadap kebutuhan pembaca, industri buku, media dan kenakalan para cerpenis.

Benturan Budaya dan Kreativitas

Empat Negara anggota Mastera yang hadir antara lain; Brunai Darussalam, Malaysia, Indonesia dan Singapura membawa spirit melayu dengan kebudayaan berbeda seperti sebuah pertemuan yang tidak asing.

Peserta dari Indonesia sendiri diwakili Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Alimuddin (Aceh), Anton Bae (Palembang), Putu Budi EY (Bali) Saifun Salakim (Pontianak), Ragdi F. Daye (Padang), Anis K Al-Asyari (Makassar), Imam Muhtarom (Surabaya), Fina Sato (Bandung) dan Nadhira Khalid (NTB), sepuluh nama tersebut sebagian besar adalah “pengarang muda” (meminjam istilah Putu Wijaya) yang mulai menyemarakkan media lokal, nasional dan pentas buku-buku cerpen yang belakang sangat kompetitif. Dan sebagian besar adalah cerpenis yang telah memenangkan beberapa lomba seperti Wa Ode Wulan Ratna (Pemenang Cerpen terbaik CWI 2005), Imam Muhtarom yang masuk sepuluh besar cerpen terbaik nasional yang diselenggarakan Bali Post 2002, Putu Budi EY cerpennya masuk sepuluh besar cerpen terbaik Indonesia versi Mendiknas 2007 dan beberapa pengarang lainnya yang telah memadati ruang media raksasa seperti kompas, media Indonesia, Horisin dan sebagainya. Ke sepuluh nama pengarang muda dari Indonesia tersebut juga telah menerbitkan sejumlah buku baik kumpulan cerpen, novel maupun puisi.

Wakil dari Malaysia antara lain Nazmi Yaakub adalah seorang cerpenis yang sekaligus sebagai jurnalis sebuah media sastra (Berita Harian Sdn Bhd) di Malaysia, penulis peranakan Tionghoa Tung Wai Chee, Ibnu Ahmad Al-Kurauwi yang telah menerima anugerah penulis terbaik, maupun Noorainie Othman yang dikenal sebagai novelis remaja. Brunei Darussalam mengutus empat pengarang muda; Azmi, Munshi, Efe dan Ima—nama-nama tersebut belakangan memadati tradisi penciptaan cerpen di Brunai. Sementara Singapura diwakili Ishak Latiff (cerpenis terbaik Singapura 2007), Roslie Sidik (karyanya masuk dalam Kota Tanpa Karya bersama pengarang se-ASEAN lainnya).

Selama bengkel penulisan berlangsung ruang diskusi lebih bersifat diskusi lepas dimana pengarang akan saling membaca karya dan melacak kelebihan dan kekurangan masing-masing karya. Peserta yang dibagi ke dalam tiga kelompok akan didampingi oleh para pembimbing seperti; Budi Darma (Novelis dan Kritikus), Oka Rosmini (Cerpenis dan Novelis), Helvy Tiana Rosa (Cerpenis) dan Joni Ariadinata (cerpenis) mewakili pengarang Indonesia. Pembimbing lainnya seperti pengarang produktif Encik Malim Ghazali (Malaysia), Zefrri Arief (Brunei) dan Langkah Seribu (Singapura) juga menjadi pembanding di setiap diskusi yang kritis dan terbuka.

Persoalan proses penggarapan cerita rupanya masih menjadi topik diskusi yang begitu berat dilepaskan. Kadangkala ditemukan sebuah karya yang penyajiannya sederhana tapi lebih mementingkan pesan yang ingin disampaikan. Ada pula sejumlah karya yang sebaliknya, penyajian yang mempesona tapi tidak jelas isi cerita. Kritikus Budi Darma pada akhirnya memetakan tiga karakter cerpen dari semua peserta antara lain: cerpen lokal, cerpen konvensional dan cerpen eksperimentatif. Ketiga varian tersebut sekaligus menandai adanya kehendak dari masing-masing pengarang untuk tidak sekedar mengarang atau mencipta tetapi juga bergerak jauh ke arah yang lebih menantang, fantastis dan melampauhi batas-batas imajinasi maupun bentuk penciptaan yang ada.

Isu lokal sangat kental terlihat dalam beberapa karya pengarang seperti Wa Ode Wulan Ratna lewat cerpennya Batavus yang mencoba kembali ke masa Jakarta 1950-an, Alimuddin dengan safrida Assakariyah yang membawa karakter perempuan Aceh ditengah perang dan konflik berkepanjangan. Alimuddin memunculkan karakter perempuan Aceh yang tegar, berani, sebuah manifestasi kehidupan perempuan yang dihantui kekerasan dan pelecehan seksual serta bayang-bayang kematian. Anton Bae dengan Bongen seolah-olah memperkenalkan kita pada legenda dan kekhasan sungai musi dan sejumlah sungai lainnya di Palembang yang penuh nilai histori. Anton menggali ornamen-ornamen lokal dengan menemukan persoalan sosial seperti kemiskinan yang muncul di ruang-ruang terpencil serta bagaimana spiritualitas masyarakatnya justru sangat kental dengan mentalitas yang kokoh.

Putu Budi EY menulis Bambu di Tebe sangat kental dengan warna lokal tidak saja pada tema cerita tetapi juga pada peletakan bahasa-bahasa lokal yang menyatu dalam struktur teks yang mengalir. Putu tidak saja menjelaskan dirinya sebagai orang Bali asli yang memahami perubahan-perubahan sosioligis yang ada tetapi juga seorang Bali yang gelisah menghadapi gempuran global yang sedemikian pesat. Bambu di Tebe jelas sebuah cerpen yang mengeksplorasi bagaimana mistisisme yang kental beratus-ratus tahun lamanya di Bali tumbang akibat teknologi dan benturan budaya yang masuk di sana. Kisah seorang anak gadis yang meminta ayahnya menebang bambu di belakang rumahnya (tebe) jelas mewakili adanya regenerasi di ruang lokal yang perlahan menghindar dari ruang lokal seperti kasus menanam bambu di belakang rumah yang kemudian hilang ditengah ruang kota yang mendesak.

Begitu pula dengan cerpen Fina Sato berjudul Lawalata yang mengeksplorasi ruang lokal suku Dayak. Cerpen bertemakan lokal tersebut seperti membawa kita pada sebuah keinginan untuk kembali memandang pada sesuatu yang dekat dengan diri. Kebudayaan dalam arti bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi bermetamorfosa cepat ditengah desakan zaman untuk berubah. Tema lokal ini sebenarnya sudah berkembang lima tahun terakhir ini seperti munculnya Oka Rosmini (Tarian Bumi) dan kecenderungan tematik pada kompetisi cerpen yang ada di Indonesia.

Isu lokal mungkin saja mewakili gejala sosial masyarakat yang mulai jenuh dan gelisah terhadap arus global yang menjauh dari nilai-nilai yang pernah ada. Kota yang penuh hirup-pikuk kendaraan dan gedung-gedung bertingkat men-suplai global warming, kriminalitas bahkan korupsi. Kepekaan sosial mulai hilang dan digantikan dengan perilaku individualistik dan serba instan. Dalam situasi tersebut, belakangan ini orang-orang kota sangat banyak yang merindukan desa, merindukan masa lalu dan mendambakan nilai. Cerpen bertema lokal bisa jadi semacam obat bagi mereka yang benar-benar merasa kehilangan spiritualitas nilai dan sejarah.

Penggunaan bahasa lokal dan setting lokal cenderung memaksa pembaca untuk lebih dulu mengenal sejarah dan sosiologis masyarakat. Hal ini tentu saja membebani pembaca yang sama sekali tidak mengenal ruang lokal yang ada dalam cerita. Oka Rosmini sendiri menyadari bahwa persoalan utama yang dihadapi dalam penggarapan isu lokal adalah penggunaan istilah lokal yang mesti dijelaskan melalui catatan kaki. Sesuatu yang tetap saja mengganggu pembaca untuk mengingat sejumlah kata-kata atau istilah bergaris miring. Oka Rosmini menyarankan agar pengarang mendeskripsikan setiap istilah lokal agar tidak menyulitkan pembaca. Cara ini memang bisa efektif dan memudahkan tapi jika istilah lokal dalam jumlah yang sangat banyak, beberapa pengarang berpendapat bahwa hal tersebut justru akan mengganggu penyajian cerita.

Apa pun cara yang dipilih pengarang untuk menghidupkan ruang lokal yang jelas tendensinya adalah menghidupkan wacana lokal sebagai perbandingan budaya akan sangat berharga bagi masa depan per-cerpenan dunia. Pembaca akan menemukan semacam telaah kritis yang lebih blak-blakan tentang diskrimininasi, kemelut sosial maupun sejarah dan nilai pada ruang-ruang lokal dalam cerita yang selama ini tersub-ordinasi.

Entah sampai kapan tema lokal ini bertahan ditengah isu-isu urban maupun tema seksualitas dan kekerasan justru berkembang pesat tanpa mengenal lokal maupun non-lokal. Atau jangan-jangan isu lokal dalam cerpen tersebut mewakili teriakan lokal yang tak berdaya oleh gempuran global dan sebentar lagi tutup usia dan merayakan kekalahan.

Pada sejumlah sesi dalam diskusi yang menghadirkan pengarang dengan latar belakang budaya yang berbeda justru tidak banyak mempersoalkan hal tersebut di atas. Ada kecenderungan kebanyakan pengarang menggarap isu lokal karena ketagihan bermain-main mesra dengan warna lokal yang unik itu. Semoga saja hal tersebut tidak menjamur dan mewarnai isu lokal pada cerpen yang ada. Tetapi sekali lagi membawa aroma lokal pada upaya menghidupkan makna, membuka kesadaran kritis dan tentu saja meluruskan distorsi sejarah yang mungkin ada.

Dari konvensional hingga eksperimen fiksi

Yang tak kalah menariknya adalah masih bertahannya cerpen berbau konvensional baik dalam struktur teksnya msupun pola-pola penyajian permasalahan di dalamnya. Nasi Ambeng karya Ishak Latiff (Sinagapura) memainkan struktur yang sangat formal khas cerpen yang sering kita jumpai sejak lama. Persis sama dengan Sebebas Merpati Putih (Saifun Salakim) yang dari judulnya saja begitu konvensional, teks-teks dalam cerpen ini kelihatan sangat menghindar dari narasi-narasi yang berat dan metafora.
Ragdi F Daye melalui Pemburu Babi memainkan narasi secara terencana antara pembuka cerita, awal konflik dan ending cerita sebagai konflik. Gaya penceritaan semacam ini juga terlihat pada Tanah Sunyi Wangi Kamboja karya Ibnu Ahmad Al-Kurawi, cerpen tersebut menggunakan alur yang sangat datar. Tidak saja dengan penyahian yang demikian ringan tapi penempatan konflik yang sangat konvensional sebagaimana film-film klasik. Karya lain semacam itu adalah Matahari karya Noraini Osman atau Nadhira Khalid dengan Sebuah Ruang Kosong.

Karya-karya konvensional tersebut umumnya memenuhi standar cerpen media popular maupun standar umum cerpen yang ada. Menariknya adalah ketika karya-karya tersebut mencoba mengetengahkan pesan-pesan secara tersurat sebagai kata kunci dari apa yang hendak disampaikan pengarang. Konflik yang sederhana mewarnai cerpen yang digarap secara konvensional—konflik amat tidak menonjol, sesuatu yang mewakili karakter budaya ketimuran seperti istilah Budi Darma.

Hal lain yang patut direnungkan adalah masih bertahannya gaya konvensional ditengah desakan penciptaan yang serba baru. Barangkali bukan persoalan bahwa kebanyakan pengarang tersebut terbatas pada pengalaman menulis demikian, tetapi dengan gaya itu mereka bisa lebih menemukan karya yang khas. Dan terutama kemudahan dalam mengolah imajinasi dan realitas sebagai fakta yang unik dalam teks.

Cerpen konvensional akan tetap mendapat tempat yang monumental sebab pada saat yang sama cerpen eksperimental begitu pesat dan seperti bergerak bebas tanpa batas. Hal itu sangat menonjol pada program penulisan Mastera 2008.

Apa batasan cerpen eksperimental itu? Setidaknya bisa kita lihat dalam hal penyajian dan bagaimana pengarang tersebut memainkan gagasan. Penyajian cerita secara eksperimental sudah pasti melanggar kebiasan-kebiasaan penceritaan dan kadang-kadang mengagetkan pembaca. Banyak kritikus memberi penilaian khusus terhadap cerpen eksperimen sebagai bagian dari kemajuan proses kreatif. Walaupun dalam beberapa sesi diskusi Mastera, Budi Darma kadangkala menyadari beberapa persoalan yang ada baik pada kebablasan yang terjadi pada penyajian maupun realitas-realitas aneh yang kadang muncul tanpa kausalitas yang kokoh.

Beberapa karya yang eksperimentatif pada Mastera 2008 antara lain; Ruslie Sidik Gerimis Duka di Kota Chennai yang memainkan teks-teks yang terpisah satu sama lain. Walaupun sebenarnya berangkat dari kisah cinta sederhana namun penggarapannya sangat berani dan mengebiri struktur alur cerita sebagaimana biasanya. Sementara Munshi lewat Aku seperti menghindari pola-pola formal penggunaan tokoh, Munshi lebih senang memainkan tokoh aku secara spesifik dan bebas tanpa mementingkan peran tokoh yang lain. Cerpen Aku pada akhirnya terlihat seperti bangunan esai yang penuh dengan pesan-pesan secara verbal. Dalam konteks cerpen sebagai karya fiksi, cerpen Munshi tersebut seolah mendobrak keterkungkungan pengarang terhadap pola-pola yang biasa. Lalu menawarkan semacam strategi unik, sekalipun kadang-kadang membingungkan bagi pembaca.

Begitupula dengan Pencuri Hidung karya Anis K Al-Asyari seolah mengembangkan narasi tanpa dialog sehingga pembaca diajak untuk menentukan dialog-dialog cerita pada narasi yang pasif. Ide cerita pada Pencuri Hidung seperti ditemukan begitu saja tanpa konsep awal, ceritanya mengalir dengan bebas lalu kadangkala memusingkan pembaca karena banyak sesi penceritaan yang kadang muncul tanpa pengantar yang spesifik.

Berbeda halnya dengan Imam Muhtarom yang menulis Anak Haram, karyanya seperti bukan karya Imam yang pada cerpen-cerpennya sebelumnya sangat progresif dan penuh metafora dan pergulatan tokoh. Seperti halnya Munshi, Imam juga larut dalam permainan yang otonom seorang tokoh aku yang bergerak bebas tanpa jelas kepada siapa ia bertemu dan bercerita. Anak Haram pun mirip esai yang didalamnya persitiwa tidak berlangsung secara berunut tapi lebih mengutamakan ideology pengarang secara blak-blakan.

Baik narasi eksperimentatif, konvensional maupun yang berbau lokal, cerpen-cerpen para pengarang muda ASEAN menunjukkan adanya pencarian bentuk terus-menerus tanpa melupakan pesan-pesan ideologis yang kental dengan budaya masing-masing. Semua itu menunjukkan adanya perkembangan yang pesat dalam dunia kepenulisan mutakhir di Asia Tenggara terutama cerpen. Kini, pengarang muda tersebut kemudian menyadari betapa pentingnya penciptaan karya berkualitas untuk memadati ruang-ruang sastra yang kompetitif hingga di media massa.

Itulah masa-masa yang paling eksotis per-cerpenan mutakhir yang sepertinya menandai kemungkinan posotif bangkitnya semangat untuk saling berbagi lewat sastra. Dan yang lebih penting adalah memajukan proses penciptaan bersamaan dengan pesatnya minat membaca masyarakat yang semakin hari semakin pening akibat derasnya gelombang teknologi dan kompleksitas persoalan--itulah eksotisme percerpenan yang sesungghnya.


Anis K Al-Asyari, Cerpenis, Delegasi Indonesia pada Program Penulisan Cerpen MASTERA 2008


;;