Profile Restbook Foundation





RESTBOOKS FOUNDATION

PRESPEKTIF

Minimnya ruang/media yang bisa mengakomodasi kreativitas produksi berpikir (karya) selalu menjadi alasan mengapa belum pesat terbitan buku-buku di Makassar. Sejumlah lembaga penerbitan yang ada justru larut dalam kapitalisasi karya secara berlebihan dan melupakan ruang kritis dan iklim diskusi termasuk iklim menulis. Akibatnya buku-buku yang terbit seperti menjauh dari pembaca, buku kehilangan spirit pembedahan dan transformasi pada masyarakat.
Adakah penerbitan yang bersifat semi-profit, dan sekaligus mengupayakan terbangunnya iklim intelektual yang dinamis? Pertanyaan ini yang sekaligus menjadi alasan kenapa kami mencoba mendirikan RESTBOOK FOUNDATION sebagai lembaga penerbitan alternatif. Lembaga ini tidak hanya diharapkan bergerak berdasarkan prinsip-prinsip penerbitan semi-profit yang lebih mengedepankan aspek humanisme, daya beli, dan mendorong spirit membaca masyarakat.

a. VISI

Mendorong terwujudnya iklim intelektual, budaya dokumentatif dan iklim membaca masyarakat melalui penerbitan, bedah buku dan iklim diskusi sebagai upaya melahirkan kesadaran kritis yang dinamis dan konstuktif, serta menfasilitasi dialog-dialog multikulturalisme untuk memberi pemahaman masyarakat terhadap isu multikultural.

b. MISI

Memberdayakan potensi anak-anak muda yang memiliki semangat berkarya dan memiliki daya transformative untuk mewujudkan masyarakat dengan kesadaran berpikir tinggi.
Menyelenggarakan proyek penerbitan semi-profit yang lebih mementingkan kapitalisasi karya-karya bermutu, serta karya-karya yang kehilangan akses dari penerbitan besar yang mengedepankan pencitraan penulis.
Menfasilitasi penyusunan teks-teks buku dengan metode-metode penulisan alternatif dan ruang diskusi yang terbuka luas.
Mendorong terwujudnya ekonomi kreatif di bidang penerbitan dengan standar keuntungan minimalis untuk mendukung regulasi penerbitan.
Menciptakan ruang publik seperti café dengan iklim intelektual, semangat egaliter dan tolerasi.
Menfasilitasi riset dan dokumentasi penelitian-penelitian lokal untuk isu-isu multikulturalisme.



c. JANGKAUAN

Restbook Foundation bergerak dari Makassar dengan jangkauan tak terbatas pada persoalan isu-isu multikulturalisme, serta secara spesifik program organisasi menjangkau wilayah Sul-sel namun untuk kebutuhan akses yang tak terbatas.


d. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM

Institusi ini menjalankan program sebagai berikut;
Penerbitan
Program penerbitan terdiri pada tiga segmen besar antara lain;
Seri Sastra; seri ini akan spesifik menerbitkan buku-buku sastra berupa kumpulan sajak, cerpen, novel, hasil riset sastra, dan ulasan sastra.
Seri Figur; seri ini bekerja untuk menfasilitasi dokumentasi buku-buku tokoh-tokoh tertentu yang akan menerbitkan riwayat hidupnya, serta penulisan isu-isu tokoh lokal.
Seri Riset dan Advokasi: seri ini akan menfasilitasi penerbitan buku-buku hasil riset teruatama isu-isu multikulturalisme

Pemasaran buku-buku dengan tema-tema alternatif
Restbooks akan membuka akses luas untuk tersedianya buku-buku berkualitas khususnya untuk tema-tema sastra, budaya, multikultural maupun filsafat. Restbook akan membuka jaringan dengan seluruh penerbit alternative dan penerbit dengan buku-buku penting terkait focus tema di atas agar dapat diakses secara luas terutama masyarakat kampus di Makassar.

Café Baca
Café ini akan dibuka untuk semua kalangan, namun memiliki ciri khas tersendiri yakni mengedepankan terciptanya iklim membaca, melalui penyediaan buku-buku bermutu, internet gratis, dan ruang diskusi serta akses mesia massa.

Restbook Cmmunity (komunitas para pecandu buku)
Sebuah komunitas yang akan mengakomodasi para pecinta buku, penulis, mahasiswa, siswa dan berbagai kalangan penggila buku dengan komunitas lepas. Komunitas ini akan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan rileks, pertukaran buku-buku dan upaya mengkampanyekan spirit membaca.

Diskusi buku dan kampanye baca
Diskusi buku akan dibuka setiap periode-periode tertentu, pasca penerbitan buku-buku tertentu atau buku-buku dengan tema-tema multikulturalisme. Restbook juga akan menfasilitasi terwujudnya diskusi buku di masyarakat yang selama ini belum mengenal iklim diskusi terutama di desa-desa.

Advokasi dan riset mengenai isu-isu multikulturalisme
Advokasi masyarakat akan kami fasilitasi untuk isu-isu multikulturalisme serta menfasilitasi penggandaan hasil riset untuk dapat diakses semua kalangan.


e. PENGGIAT RESTBOOK FOUNDATION
Direktur : Anis Kurniawan, SSDirektur Pelaksana : Nurcholish IR Manager Penerbitan, Riset dan diskusi: Ramli Palammai, S. SiManager Usaha: SupriadiManager Keuangan: A. NurhayaniEditor: Arham Rahman
Pustakawan: Besse Tenrirawe
Networking: Andhika Mappasomba
f. FOUNDING
Kami akan bekerjasama secara terbuka dengan founding yang tidak mengikat dan memiliki kesamaan visi, secara garis besar sumber-sumber itu sebagai berikut;
· Lembaga Donor Nasional/internasional
· Pemerintah terkait program
· Tokoh yang peduli terhadap visi program
· Subkontrak proyek-proyek penerbitan buku-buku profil.
g. KAPASITAS INTERNAL
kapasitas internal organisasi diperkuat oleh para penulis, pecinta buku, peneliti dan orang-orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap buku dan isu-isu multikulturalisme. Dengan demikian, program akan dijalankan tanpa masalah dengan sumber daya internal dan tentu saja dengan komitmen moral untuk menghidupkan kebudayaan membaca.

MEKANISME DONATUR

Restbook Foundation akan dibuka/didirikan sebagai lembaga semo-profit berbadan hokum dan digerakkan oleh manajemen organisai yang berkapasitas. Belum tersedianya pendanaan yang cukup menjadi kendala, oleh sebab itu kami membutuhkan kepedulian pihak-pihak tertentu untuk berpartisipasi menjadi donator.
Donator berasal dari sejumlah kalangan, memiliki interest terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, mencintai buku dan berminat untuk menghidupkanproduktivitas ekonomi kreatif di kalangan anak muda. Berikut beberapa ketentuan mengenai donator yang berpartisipasi pada pendirian organisasi;

Siapa donator pendiri? Donator pendiri bukan lembaga (institusi pemerintah, perusahaan maupun donor), donator bersifat pribadi dan berinisiatif untuk membantu terwujudnya visi organisasi.
Kewenangan/hak donatur pendiri, donatur pendiri berpartisipasi terhadap proses perjalanan awal organisasi. Donatur pendiri berhak dimasukkan namanya sebagai Dewan Pakar organisasi dan berhak penuh dalam hal control manajemen dan orientasi setiap program (sebagaimana ketentuan organisasi). Jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan visi organisasi Dewan pakar berhak menarik dananya kembali dan mengusulkan re-strukturisasi. Donatur pendirian akan diundang, dilibatkan dalam setiap program.
Besaran dana untuk donatur pendiri, donatur bisa berpartisipasi dengan tiga cara antara lain;
Menyumbang antara 1 juta—10 jta rupiah.
Memilih salah satu (atau beberapa) poin pendanaan yang ada.
Sumbangsi berbentuk barang bisa menyesuaikan dengan barang-barang yang dibutuhkan organisasi.
investasi/sumbangan di atas 5 juta akan mendapatkan hak pendapatan dari keuntungan program profit organisasi.
Hak pendapatan donatur, donatur dengan sumbangsih di atas 5 juta akan berhak mendapatkan 5 % setiap keuntungan program dan di atur melalui manajemen keuangan organisasi.
Pihak yang bersedia membantu pendanaan diharapkan mengirimkan melalui rekening BNI cabang Makassar No: 0124304102 atas nama Anis K. Al-Asyari.
Transfer bantuan sebaiknya pada periode bulan Februari 2009 untuk mendukung kesiapan pendirian organisasi.
Para donatur yang bersedia masuk sebagai Dewan Pakar akan diundang dalam pertemuan antar dewan pakar dan dewan pengurus sewaktu-waktu.





PENDIRIAN ORGANISASI

Resbook Foundation didirikan di Makassar pada tanggal 20 Januari 2009 dan akan mulai melakukan perencanaan program pada Februari 2009.

KONTAK

Untuk konfirmasi, Anis Kurniawan, Asrama Lompobattang A 18 Makassar, 0411-9182598, email: bersikuku_19@yahoo.co.id





























Rumah Parihem

Rumah Parihem

Cerpen: Anis K. Al-Asyari.

Di atas meja kayu, Parihem duduk dengan mata mengawan-awan. Di luar rumahnya gendang terus bertabuh seperti sore di hari-hari sebelumnya. Anak-anak kecil membawa pisau dan gelas pelastik. Parihem tetap berdiam sambil menunggu sayup-sayup suara tentang siapa yang kena giliran kali ini. Jika bukan tetangganya, Masena, perempuan yang ditinggal suaminya, mungkin dirinya. Atau jangan-jangan tak lagi ada pilihan lain, ia terus menunggu pintunya didobrak dengan teriakan menggunung lalu akan terseretlah tubuhnya menuju sebuah lubang menganga. Dan mati.


Pohon-pohon tak bergeming ketika akhirnya seorang perempuan telah terseret ke tempat biasa, di sebuah bukit. Masena! Seperti dugaan Parihem. Tubuh perempuan itu disayat-sayat pisau dari tangan-tangan penduduk yang seperti menari. Anak-anak lalu berkerumun menadah darah Masena yang menetes seperti mata air dengan gelas plastik. Dalam hitungan menit, tubuh asena seperti lilin yang meleleh.


Gendang berhenti bertabuh, sepanjang jalan berceceran darah. Orang-orang berkerumun kembali ke rumahnya masing-masing. Mulut mereka memerah, bau anyir melesat di setiap tarikan nafasnya. Anak-anak kecil seperti mabuk, gelas pelastik di tangannya setengahnya telah diseduh, darah Masena menjalar ke setiap tubuh. Dan malam yang datang beberapa saat setelah jalan begitu lengang mengundang burung-burung liar terbang lebih rendah. Burung-burung itu turut mencicipi darah yang sempat tercecer sambil meraung-raung.


Parihem mulai naik ke ranjang, ia membiarkan jendela rumahnya terbuka dimana ia bisa menerawang lebih dekat bagaimana burung-burung itu berkelahi memperebutkan makanan. Angin berhembus masuk ke rumahnya seolah-olah ada tubuh Masena yang ikut terhempas dengan wajah pedih. Mata masena semakin terbayang seperti berhadapan langsung dengan matanya.


Beberapa saat sebelumnya, Parihem bertemu Masena di kaki bukit, ketika keduanya berpapasan saat hendak menyeberangi sungai yang airnya cukup deras. Masena terlihat semakin tua melampaui usianya yang masih tiga puluh delapan tahun. Jalannya gontai, di matanya seperti ada gumpalan batu yang menyumbat dari dalam sehingga meski telah berkaca-kaca di kelopaknya pada dua bola matanya tiada terlihat air mata menggenang.


Parihem sempat meraih tangan Masena, lalu mereka berdua seperti sepasang pengantin dengan jalan hati-hati sampai ke tepian. Setiap kali Parihem melihat Masena, setiap itu pula ia seperti bertemu dengan Laila, isterinya. Hari-hari setiap menjelang tidur atau diwaktu-waktu yang tak ia sengaja, Masena selalu menjelma di hadapannya. Parihem memeluk perempuan itu, seperti pengantin baru di malam pertama—Parihem tidak ingin kehilangan.


Angin kencang dan dingin yang merembes ke kulit Parihem membuatnya terbangun, tersadar betapa ia sedang dalam sendiri. Masena di rumahnya, mungkin tidak bisa tidur sebab setiap saat orang-orang kampung akan datang menyeretnya mendadak. Dan tak ada malam yang bening bagi keduanya. Gendang bisa bertabuh seperti petir tiba-tiba dan kematian seperti tidak ingin tawar-menawar.

***
Di sebuah bukit, lubang menganga kini nyaris tak ditumbuhi rerumputan. Hanya ada pohon-pohon tinggi disana yang daunnya tak seberapa. Anjing-anjing selalu berkumpul seperti sedang menunggu perjamuan makan.

Satu persatu penduduk diseret dan disayat-sayat di lubang itu. Sebelum Masena, dua lelaki tua juga menemui ajalnya disana. Keduanya selalu ditemui di pintu masuk pasar menenteng topi terbalik. Dan orang-orang yang kasihan akan melemparkan uang seribuan, kadang dengan kasar seperti sedang meludah.


Ketika orang-orang kembali dari pasar, kedua lelaki itu akan berjalan ke rumahnya masing-masing membawa bungkusan makanan untuk persediaan satu minggu ke depan. Hari pasar hanya sekali, karena itu ia selalu bekerja keras menjadi boneka di pintu pasar. Namun, suatu ketika satu diantara keduanya terserang sakit yang secara pelan-pelan membuatnya tinggal
di rumah dengan tubuh yang terus mengecil.


Di sebuah gubuk tempatnya hidup bertahun-tahun sendiri, ia hanya bisa menunggu keajaiban. Kadang sahabatnya yang juga pengemis membawakannya roti kering dan sebatang rokok. Hingga suatu waktu, gendang bertabuh tepat di sebuah sore yang tak pernah ia bayangkan. Gubuknya dibakar massa. Pertama kali ia melihat kerumunan anak-anak kecil yang membawa pisau dan gelas-gelas pelastik lalu tubuhnya terseret melewati jalan yang
sangat ia kenal ujungnya.


Lelaki itu menghadap ke langit, ia teringat sahabatnya sambil terseduh-seduh, ia tidak lagi sempat bertemu. Sebelum pisau menebas lehernya, ia melihat ke bawah lubang dimana ia seperti menemukan wajah sahabatnya itu tersipu-sipu malu. Dan sore itu anak-anak seperti menggelitik tubuhnya dengan pisau, ia teringat masa kecilnya, teringat ketikabaru saja keluar dari rahim ibunya. Teringat ketika dalam rahim ibunya bermain-main sendiri—lalu teringat ketika pernah ia tiada. Darah meleleh di setiap lekukan tubuhnya terus tumpah hingga ia melihat tak setetes pun tersisa. Anak-anak menadah darahnya dengan gelas pelastik. Seperti biasa, orang-orang akan menghisap setiap resapan darahnya dengan mulut-mulut yang buas kelaparan.


Riwayat tentang dua orang pengemis yang bertahun-tahun menjadi patung di pintu pasar
kemudian berakhir. Beberapa saat kemudian, satu pengemis lagi nyaris mati ditempat, ketika mesti bertahan dari serangan pasukan berseragam yang melarangnya mengemis di tempat yang sudah seperti rumahnya sendiri.


Tubuhnya diseret ke jalan raya. Pengemis itu kemudian berjalan kembali ke rumahnya
menemui anak dan isterinya dengan sebuah pesta sedehana: pesta air mata. Minggu berikutnya, ia akan datang mengemis di pintu pasar, namun ketika hanya satu-dua kepingan koin terseduh di topinya, pasukan berseragam lalu mengusirnya dengan tendangan sepatu laras. Pengemis itu terpaksa kembali menikmati pesta air mata yang semakin besar bersama keluarganya. Tapi, ia akan tetap kembali mengemis, sebab di tempat itu ia sudah merasakan hidup bertahun-tahun.


Hingga suatu siang dengan jalan gontai ia melesat masuk melewati pintu terbuka dimana ia menemukan isteri dan anaknya tergeletak. Air mata di wajah keduanya telah mengering menutupi kelopak matanya seperti lem pengerat. Pertama kali ia memegang perut isterinya lalu anaknya. Sang pengemis itu, seperti tak memegang apa-apa kecuali tulang-tulang yang menjulang.


Dua kematian di rumahnya membuatnya seperti ingin mengamuk. Tapi, bekas-bekas pukulan ditubuhnya membuatnya sadar betapa ia tak punya daya untuk sekedar memporak-porandakan rumahnya sebagai pelampiasan. Lelaki itu duduk di antara kedua jasad beku lalu meraih sebuah badik di balik kasur ranjang besi tua dan menikam perutnya. Tangannya mengayun untuk kali kedua, tapi otot-ototnya semakin kaku dan ia terbujur dengan nafas tersengal dan mata terbuka menahan pedih.


Lelaki itu tak sabar menunggu detak jantungnya terhenti bersamaan dengan darahnya yang akan habis tertumpah di lantai. Namun, ketika ia mencoba lagi menusukkan badik itu pelan ke lehernya, suara gendang lalu bertabuh. Dan orang-orang melesat seperti burung-burung merpati ke rumahnya. Menyeretnya keluar, sementara tubuh anak dan isterinya ditinggal
begitu saja. Lelaki itu terus berteriak, namun orang-orang menyeretnya cepat. Dari kejauhan api telah memeluk gubuknya mungkin bersama kedua orang yang paling dicintainya dan ia menyesal kenapa ia tak mati bersama mereka.


Di kaki bukit tubuhnya tersayat-sayat. Sisa-sisa darahnya pun diperebutkan burung-burung ketika tiba malam. Tidak banyak yang tahu jika kedua pengemis itu sahabat Parihem. Mereka memang diam-diam selalu berbagi kasih. Mereka pun selalu bertemu dan berkumpul di rumah Masena sambil menikmati sup air mata.


Di bekas gubuk mereka lalu berdiri rumah-rumah baru yang dibuat dengan berpuluh-puluh orang dan berpuluh-puluh tiang penyanggah atapnya. Rumah-rumah itu akan dihuni oleh orang-orang yang jarang terlihat berjalan menuju pasar atau sedang berjalan kaki melihat pohon-pohon begitu indahnya di pagi hari.

***
Beberapa saat setelah Masena meninggal, gubuknya telah rata dengan tanah dalam sekejap. Dari atas pohon kelapa, Parihem melihat rumah itu tiba-tiba menghilang dan seperti tak ada tanda-tanda jika di tempat itu pernah hidup seorang perempuan yang selalu membuatnya terkenang dengan isterinya.

Ia menangis terseduh di atas pohon itu. Tapi, yang lebih menyedihkan adalah ketika ia melihat kampung yang ketika ia kecil hanya ada rumah yang bisa dihitung jari. Rumah-rumah yang dibuat dari kayu jati yang ditanam sendiri oleh penduduk. Atapnya dari rumbia yang disulam dengan sangat telaten dan penuh gotong royong. Dan di atas kelapa itu ia melihat rumah-rumah di kampungnya telah menjelma seperti kuburan yang dibuat mewah dari ubin berwarna-warni.


Sebelum ia turun secara perlahan, ia hanya menemukan gubuknya satu-satunya yang lain dari rumah-rumah itu. Dengan kaki yang gemulai dan lambat ia sampai ke tanah lalu masuk ke rumahnya. Ia duduk di atas meja kayu dan menunggu gendang bertabuh.


Hari-hari dimana ia terus menunggu gendang bertabuh. Ia ingin mati di kampungnya itu seperti orang-orang terdahulunya; dua lelaki pengemis, Masena, kedua mertuanya dan berpuluh-puluh orang kampung yang tidak akan mungkin dilupakannya. Mayat-mayat mereka yang terseret ke lubang maut di kaki bukit di kampungnya sendiri. Dan burung-burung yang selalu berpesta di atas ceceran darah yang tersisa di jalanan.


Di suatu sore, ketika dari jauh gendang bertabuh, ia dihantui kecemasan. Apakah ia sungguh-sungguh bernasib seperti pendahulunya? Dan orang-orang itu akan terus menikmati pesta pora hidupnya di atas kematian demi kematian? Gendang bertabuh semakin dekat, ia menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba, tubuhnya seperti kembali muda, tangannya bergerak sibuk mengumpulkan sisa-sisa pakaian anak dan isterinya sebagai kenangan.


Parihem melesat seperti peluru yang tak kembali. Melewati jalan-jalan dan berpuluh-puluh orang yang menunggunya. Parihem melintasi bukit demi bukit, masuk ke kampung yang baru. Dan ke kampung yang lain. Berpindah-pindah. Pakaian anak dan isterinya terus di tangannya. Hingga di suatu waktu ia merasa betah di suatu kampung yang terasa damai. Namun beberapa tahun kemudian ia mendengar sebuah riwayat yang sama, orang-orang diseret di sebuah bukit yang terjal. Dan anak-anak yang membawa pisau dan gelas pelastik—menyanyat tubuh dan meminum darah segar.


Parihem meninggalkan kampung itu. Ia pergi sendiri dan tidak lagi ingin tinggal di mana pun. Di rumah sebagus apa pun? Dan di rumah siapa pun? Itulah yang bisa membuatnya selalu terhindar dari kutukan bunyi gendang bertabuh. Kini, setiap saat ia menjadi saksi orang-orang yang terseret ke sebuah lubang lalu disayat-sayat oleh kerumunan orang seperti pestasembahyang berjamaah.


Parihem kini di rumahnya sendiri—di dirinya sendiri. Dan sekali waktu mungkin pernah bertemu dengan ANDA!


Kado
akhir tahun untuk Divta Didjiwa Pherydewa

Rajawali, 2008

Gatta

Cerpen: Anis K Al-Asyari.

Mulanya kami tidak berani keluar rumah saat gendang bertabuh. Lama-lama kami memaksakan diri melesat lewat jendela. Orang-orang tua kami sudah berkumpul di sebuah halaman sekolah berjingkrat-jingkrat menutup telinga. Di wajahnya terlihat lenting keringat kental telah menyerupai topeng. Gendang terus mengeram, cambuk mengayun sekali-dua kali mengenai banyak tubuh. Darah menghempas ke udara seperti serpihan lumpur kecoklatan.

Kami merayap dari balik semak-semak dan rindang pohon bambu yang memagari gedung sekolah. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali melilitkan baju pada mulut kami agar kesedihan tidak tumpah ruah. Dan kami tak ketahuan oleh pasukan berwajah muram penenteng gendang gendut itu.

Sejak malam itu, kami sedikit paham apa yang selalu terjadi pada malam-malam sebelumnya. Orang-orang tua kami meninggalkan rumah dikumpulkan sebagaimana kami di sekolah ketika menjelang upacara. Lalu digiring menyusuri jalan yang membelah perkebunan karet.

Gendang berhenti bertabuh. Kami terus mengintai dari belakang. Orang-orang tua kami terlihat seperti tahanan pidana mati. Kaki-kaki mereka berat seolah rantai besi mengikatnya. Suara kaki nyaring bercampur dengan sengal nafas yang lelah. Pada sebuah tempat, tepat di depan semacam kamp penjagaan, seorang lelaki berdiri disana menyebut nama satu persatu. Setiap yang disebut akan bergerak ke kiri atau ke kanan, ke arah yang sepertinya telah mereka paham betul.

Dalam beberapa saat saja, kami tak melihat lagi kerumunan seperti sebelumnya. Para lelaki penabuh gendang telah masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang cukup untuk sekedar istirahat. Tapi, lelaki di atas menara yang tingginya tidak lebih dari tiga meter tetap terjaga dengan senapan angin di tangannya. Matanya liar seiring tubuhnya yang berputar-putar mengamati setiap yang bergerak.

Kami masih belum berani mendekat. Tidak ada yang lebih penting kecuali menghindar dari jangkauan mata penjaga itu, tetapi dengan terus merayap di parit-parit tak berair, kami berhasil melihat sebuah pemandangan sungguh memilukan: orang-orang menari-nari di bawah pohon karet yang lurus menjulang. Matanya menyala mengamati getah gatta menetes lambat ke bawah mengisi sebuah kaleng plastik. Beberapa tetes kadang merembesi wajah mereka, membentuk semacam gundukan bekas luka yang membengkak.

Tetesan itu lambat bahkan kadang berjam-jam lamanya baru muncul lagi. Tapi, tarian yang kencang memabukkan seolah mengundang getah meresap keluar dari batang pohon gatta lebih cepat. Bibir orang-orang tua kami terus mancung menjulur di dekat kaleng penadah getah sementara kakinya mengayun tiada henti. Bibir itu persis bibir kami yang bertahun-tahun menghisap air susu ibu yang renyah. Kaki-kaki itu seperti kaki kami yang merontah ketika kami menangis karena kehausan air susu.

Malam semakin senyap, riuh burung-burung malam yang melintas berpuluh-puluh banyaknya seperti sedang menonton pertunjukan itu. Tapi, suara kaki-kaki yang terus menari dan lentingan getah jauh lebih bising. Kami tak bisa menahan sedih, paru-paru kami seperti disekap kain kasah. Tapi, karena kami masih terlalu kecil untuk menghentikan semua itu maka kami lebih memilih kembali ke rumah masing-masing dengan kekagetan. Kaki-kaki dan tangan kami tergores mengeluarkan darah segar yang tiada kami rasakan sakitnya.

Kami terus merayap hingga tubuh kami bisa bangkit dan menyusup dalam gelap. Berlari sekencang mungkin, melewati bekas-bekas kaki kami sendiri hingga tiba di rumah masing-masing menemui sepi yang tidak asing. Begitu sulit memejamkan mata, begitu tidur menyerang, seolah terdengar bunyi gendang gendut itu bertabuh demikian hebatnya.

Pagi-pagi sekali, kami menemukan tubuh orang tua kami seperti baru kembali dari perjalanan bermil-mil jauhnya. Setiap kami mencoba bertanya dan menegur bekas luka yang tergores di salah satu bagian tubuhnya, kami disekap senyum, pelukan hangat. Beberapa lembar uang jajan diselipkan di balik kanton baju sekolah kami dan kami pun berangkat melewati jalan senyap yang membelah perkebunan.

***

Sekolah dengan bangunan sederhana, halamannya selalu dipenuhi dedaunan kering yang menghembus dari perkebunan gatta. Selama tujuh tahun kami menghabiskan waktu di sana, belajar sejarah dan etika. Setiap tahun, pihak sekolah pun menyelenggarakan berbagai macam lomba, dari tarik tambang, lari karung, sampai lomba mengumpulkan ranting tua yang berserakan di bawah pohon gatta.

Kami bisa bebas bermain hingga ke tengah perkebunan. Tapi, seperti biasa saat gendang berbunyi di awal malam, kami dipaksa belajar sungguh-sungguh mengerjakan tugas sekolah. Orang tua kami berangkat kerja dan akan pulang menjelang subuh.

Bertahun-tahun berlalu, tapi hari-hari seperti terus berulang. Masa sekolah terlewatkan dan orang tua kami masih seperti dulu. Tubuh kami tumbuh dan semakin jarang bertemu untuk bermain seperti dulu. Kami merasa telah dewasa secara perlahan, kami tidak lagi bisa merayap bersama melewati perkebunan mengamati orang-orang tua kami diam-diam.

Kisah itu akhirnya hanya menjadi kenangan masa kecil. Teman-teman yang selesai sekolah akan menyetorkan ijazahnya pada pihak perkebunan. Bekerja dan hidup berkecukupan, memiliki sepeda-motor, menghidupi keluarganya dari tetesan keringat. Begitu gendang bertabuh mereka pun lekas berganti pakaian, berlari terbirit-birit dan seperti biasa akan berkumpul di halaman sekolah. Cambuk berkibas membentuk lingkaran yang meranggas mengenai banyak tubuh.

Dahulu kami bersahabat akrab dan selalu punya cerita yang sama. Jumlah kami lebih dari satu kompi tentara, kami selalu bersatu bahkan untuk melawan anak-anak lainnya yang datang dari perkampungan sebelah yang warganya bekerja sebagai petani sawah dan penggarap kebun. Tanah mereka berbatasan langsung dengan area perkebunan, tapi bertahun-tahun lamanya warga tersebut mungkin tidak pernah menemukan pertunjukan setiap malam di perkebunan itu, kecuali suara gendang seolah tanda pesta makan malam dimulai.

Hingga suatu hari, ketika kami sedang mengisi formulir peminjaman dana kredit usaha kecil, sebuah senapan meletup dari berbagai penjuru yang kedengarannya di hamparan pohon gatta yang beku. Desir peluru diselingi tabuh gendang demikian keras lebih dahsyat dari biasanya.

Siang itu, kami menyaksikan beberapa teman kami yang bekerja sebagai buruh perusahaan bergerak serentak diikuti orang-orang dengan betis tipis dan nafas tersengal. Mereka menuju pusat letupan, dari dekat terlihat sejumlah orang terus menderu seperti angin. Melempar dengan batu, menabuh dadanya yang busung sambil mencabut badik dan terus melaju hingga pertempuran pun pecah sebagaimana kaleng-kaleng penadah gatta yang tumpah ke tanah satu persatu.

Tidak hanya itu, sambil terus mengibas-ngibaskan pedang dan badik ke tubuh para buruh. Orang-orang itu pun menebangi pohon gatta, pohon demi pohon terjungkal seperti terlumat peluru di otaknya. Beberapa saat setelahnya, satu persatu buruh terkulai lemas, tangannya bertumpuh pada batang pohon gatta. Memeluk erat hingga datang lelaki yang segera menebang pohon, menebasnya bersama jasad yang tersisa dan berlindung pada pohon yang beku.

Teman-temanku yang buruh itu, orang tua kami, tiada lagi terlihat. Berpuluh-puluh pohon rata dengan tanah, saling memeluk bersama buruh yang terkulai. Sementara tak sedikit juga dari warga yang tersengat peluru, dari atas kamp penjagaan peluru menggemuru amat deras. Melesat di kepala sejumlah warga, satu-dua peluru masih menguatkan langkah mereka untuk terus melaju hingga berhasil menancapkan badik di perut sang penembak. Warga yang tertembak kemudian merebahkan tubuhnya pada batang pohon, tangannya masih sempat menumpahkan kaleng plastik yang setengah penuh berisi gatta.

Tak berselang lama, para warga telah berada tak lebih dari lima puluh meter di depan tempat kami mengamati peristiwa berdarah itu. Aku, dan dua temanku berlindung dengan mencoba merayap di tanah, rumput-rumput terlampau kecil rupanya. Begitu kami membuka mata, ujung badik sudah menempel di leher kami yang basah keringat.

“Kamu buruh juga, pendukung orang asing itu?” Pertanyaan itu menggema seperti gempa, tubuh kami menggigil. Mulut kami terkunci dan begitu seorang diantara mereka mulai mengayunkan pedang ke kepala kami, kertas-kertas terburai dari jemari yang ketakutan. Mereka membaca sekilas formulir yang sudah terisi itu, wajahnya semakin memerah, matanya buas seperti serigala. Pedang yang berlumuran darah itu kulihat bergerak seperti akan mengecup keningku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menutup mata, Suasana itu mengingatkan aku masa kecil ketika kulihat orang-orang dicambuk dan serpihan darahnya meleleh ke tanah.

Orang-orang itu pasti semakin marah apalagi setelah melihat formulir itu, pasti mereka berpikir bahwa kami adalah bagian dari orang-orang yang selama ini hidup dari perusahaan. Pelan senyap, yang terdengar hanya hentakan tangan yang mengayun tapi suara senapan jauh lebih dulu bertalu-talu dari arah yang terasa sangat dekat. Kami membuka mata dan menyaksikan orang-orang di depan kami bersama-sama menikmati sebuah tidur siang. Kulihat peluru bersarang di kepalanya, di perutnya, di kakinya. Lalu, suara teriakan mucul semakin dekat, rupanya setelah polisi mucul menghempaskan tembakan ada sekitar seratusan lebih buruh menyusul dari belakang dengan persenjataan mirip dengan warga yang menyerang.

Perang pun pecah antara buruh dan warga. Perkebunan telah menjadi arena saling membunuh hingga perdamaian bisa tercapai setelah korban berjatuhan sebegitu banyaknya. Beberapa orang ditangkap, diantara mereka adalah teman sekolahku dulu dari kampung sebelah yang sering menjadi musuh bebuyutan kami. Mereka dipenjara bertahun-tahun meski suasana sudah puli kembali.

Para buruh kembali bekerja, bunyi gendang masih seperti dulu. Getah gatta memenuhi kaleng-kaleng plastik, pohon-pohon ditanam kembali kecuali di bekas kejadiaan naas itu, di sana pihak perusahaan sengaja menjadikannya lokasi pemakaman umum. Para korban dari pihak buruh dan sebagian warga dikubur di sana. Orang-orang kelihatan berdamai dengan saling melayat, keluarga mereka setiap saat bertemu dengan mata berkaca-kaca di pemakaman. Tanpa saling menegur, kehidupan mereka tetap saja kelihatan sangat bertolak belakang.

Para warga setiap saat mengunjungi sanak-keluarganya di penjara, membawa makanan sambil memberi semangat. Sementara para buruh terus bekerja menari-nari di bawah pohon karet dengan mulutnya yang mancung.

Jalan sunyi yang membelah perkebunan karet pun lengang dan senyap begitu senja tenggelam. Kami jarang bertemu seperti dulu ketika kami setuju untuk mencari tahu kenapa kami dilarang keluar rumah saat gendang bertabuh. Kini, kami paham jawabannya: aku sibuk membayar cicilan kredit pinjaman setiap bulan, teman-teman lain bekerja siang-malam untuk kehidupan keluarganya dengan pengawasan ketat, sekolah kami kini bertingkat, orang tua kami telah menikmati sakitnya di masa lansia. Pohon karet terus memuntahkan getahnya dan para warga terus meludah di atasnya.

Bulukumba, Jakarta, Bogor, Makassar 2008

Catatan:

*Gatta: karet (pohon karet)

Rumah Air

cerpen: Anis K Al-Asyari.

Lebih sebulan air pasang di balantieng. Pohon-pohon tiada lagi baris-berbaris di sisinya, sungai itu telah menyerupai sawah menghampar siap tanam. Rumah-rumah pun tubuh dan tubuh terseret ke mana-mana bahkan ke muara. Perkampungan jadi lapangan sepak bola. Kematian tak terhitung banyaknya. Orang-orang menggigil berlari ke bukit memeras air mata dan bernyanyi eh puang salimara-salimara.

Setahun telah berlalu. Rumah-rumah panggung bangun kembali. Berderet-deret di sisi balantieng, wajahnya cemas dan jendelanya terbuka terus. Walau air telah surut seperti semula, perkampungan tiada seramai sebelumnya. Anak-anak tak banyak ditemui bermain air atau mencari doang. Riuh air terdengar lembut di telinga ketika malam hari nan dingin.

Rumah terasa berenang di permukaan air, melenggok-lenggok, bernyanyi. Burung-burung berseruling, berdendang pula ikan-ikan kerdil yang masih tersisa. Aminah terpaksa bangun tengah malam ia mendengar sebuah truk melintas depan rumahnya. Matanya melejit lewat cela kecil dan ia pun menyaksikan tiga truk berderet-deret melewati jalan sempit dengan perutnya yang kosong.

Truk itu berhenti tak lama kemudian, Aminah tahu persis apa yang sedang terjadi malam itu. Aminah terjaga, ia menunggu truk-truk itu melintas kembali dalam keadaan kenyang. Anjing menyalak mengejar-ngejar truk yang berjalan lambat tertatih-tatih. Perlahan jalan lengang dan gelap, anjing-anjing berpencar seperti sibuk mencari sesuatu yang hilang.

Pagi hari tepat ketika air sungai kehijauan nan dingin. Aminah segera ke ujung jalan sempit melewati pesisir sungai. Hamparan luas itu telah berubah jadi terminal pengangkutan batu-batu, kassi, dan kayu-kayu yang entah kenapa selalu datang setiap kali malam menanjak. Dahulu tempat itu adalah kebun cokelat Puang Mido, seorang petani yang tanahnya digugat oleh seorang pendatang yang mengaku ahli waris.

Puang Mido digugat ke pengadilan, tapi ia tak pernah mengindahkan surat panggilan. Ketika pejabat berwenang datang meminta bukti-bukti kepemilikan tanah, ia hanya bercerita panjang tentang masa lalu ketika tanah itu diwariskan untuknya dari seorang gurilla bernama Umar.

Kira-kira empat puluh tahun lalu, puang Mido dihadiahi tanah tersebut berkat jasanya sebagai penyiar agama dan passunna para lelaki baliq di kampung. Tidak ada surat perjanjiannya memang, tapi Puang Mido masih punya saksi hidup. Letenan Manra, dahulu tentara yang kebetulan terlibat langsung dalam pembunuhan Umar sempat mendengar dengan telinga sadar wasiat Umar. Dua anak laki-laki Umar masih hidup, keduanya menggarap sawah yang juga warisan dari ayahnya. Tentu saja sawahnya tidak dilengkapi dengan surat-surat.

“Bapak bertanya langsung pada ketiga orang itu?” seru Puang Mido.

“Kami butuh surat-surat pak, bukan bukti lisan” sela seorang petugas yang kemudian melangkah keluar dari rumah panggung berdinding gamacca. Orang-orang itu berjalan cepat menuruni tangga demi tangga dengan sentakan sepatunya seperti bunyi batu yang ditumbukkan ke permukaan kayu. Puang Mido mengelus dadanya menarik nafas dan terus dihantui keheranan. Berpuluh-puluh tahun lamanya petugas pajak datang menagih dan tanpa banyak cincong ia melunasinya dengan ikhlas. Kenapa juga datang orang yang mengaku ahli waris yang sesungguhnya? Di depan lego-lego, Puang Mido menggeleng-gelengkan kepala ia tak habis pikir dan terus dihantui keheranan.

Rumah Puang Mido persis di tengah kebun. Walau tergolong kecil, sebuah dapur dan jambangan, sebuah kamar tamu yang sekaligus sebagai kamar tidur, rumah itu tiada pernah kekurangan makanan. Beras selalu datang dari kerabatnya, selain itu isteri Puang Mido sangat tekun membantu sejumlah petani dan mendapat upah yang lumayan untuk hidup mereka berdua yang tomanang.

Ikan-ikan tersedia di sungai, dari ikan mujair sampai gabus. Sayur-sayuran tumbuh dipagar-pagar kebun meliuk-liuk ke pohon ambas seperti ular sanca. Hari-hari begitu menyenangkan dengan makanan yang dimasak sederhana dan sejup pepohonan dan riuh sungai dengan air bening.

Aminah masih ingat betul kisah bermain di sekitar rumah Puang Mido, membuka pagi dengan memeriksa tompong. Aminah bisa menyaksikan doang bergerombol dalam tompong dan ia selalu dapat jatah. Isteri Puang Mido senang anak kecil mungkin karena itulah ia pun memelihara anjing yang berkembang biak begitu banyak. Itulah pengganti anak-anak yang bertahun-tahun tak mengisi rumah sederhana tersebut.

Sebelum air pasang di balantieng penggugat tanah semakin gencar membujuk Puang Mido. Awalnya dengan bujukan ringan bahkan dengan tawaran sejumlah uang pengganti, rumah permanen di pinggir jalan trans-sulawesi atau tanah pengganti. Puang Mido tidak mau kompromi, ia tetap bersikeras tinggal di kebun tersebut meski harus menghadapi mati.

Dan sebuah kejadian naas menjelang bulan Agustus tiga bulan sebelum air pasang di balantieng, Puang Mido dan isterinya ditemukan beku di pintu pagar masuk kebunnya. Keduanya penuh luka, kedua matanya terbuka sementara kedua tangannya menggenggam erat kawat besi yang runcing. Petugas dan tim medis datang hendak mengangkat sepasang suami-isteri tersebut, namun tetap saja jemari mereka begitu kokoh berpegang pada kawat. Seorang petugas memotong kawat tersebut, tapi potongan kawat masih dalam genggaman keduanya.

Matanya masih menyala dan bibir yang sedikit terbuka seolah sinis pada setiap yang datang melihatnya. Barulah ketika Letenan Manra datang menyampaikan pesan dari Puang Mido semasa hidup, jasad keduanya bisa melunak. Keduanya dikubur tepat di pertengahan kebun miliknya. Pohon-pohon tumbuh subur di sekitarnya, air bening bernyanyi histeris.

Rumah panggung itu pun sepi, tiada lagi anak-anak kecil yang datang bermain. Anjing-anjing Puang Mido kemudian berkeliaran bebas melintasi kampung, semuanya berubah buas dan menakutkan bagi anak-anak. Aminah ingat betul ketika anjing-anjing itu memburuh sejumlah orang yang pada sebuah malam datang merobohkan rumah tua di tengah kebun. Tapi, sebuah senapan meletup berkali-kali, satu persatu anjing-anjing itu mati. Dan sebagian pergi menjauh. Keesokan harinya, Aminah melihat orang kampung menyeret jasad sejumlah anjing ke sungai, air mengalir lambat membawanya pergi jauh.

Di kebun Puang Mido terdapat sebuah papan bertempel tulisan sebuah nama yang berarti pemilik tanah tersebut. Aminah tak mengenal nama tersebut, ketika ia mendekat ke dalam kebun bersama teman-temannya ia melihat sisa-sisa pembakaran, pakaian, piring-piring plastik dan tompong Puang Mido. Semuanya jadi abu. Ketika siang datang bersama angin sepoi, abu tersebut beterbangan dan yang tertinggal hanya kuburan sepasang suami isteri, nisannya sudah tiada pula, hanya gundukan tanah yang dari hari ke hari ditumbuhi rumput yang subur lalu terlihat sama dengan permukaan tanah lainnya.

Sebulan kemudian, pohon cokelat rata dengan tanah. Sebuah pondasi tinggi muncul dari bawah tanah, pelan-pelan lalu berubah jadi bangunan menyerupai rumah tahanan. Di atas tanah tersebut telah berdiri gudang. Kuburan Puang Mido dan isterinya tiada lagi terlihat di sana, kuburan itu hanya ada dibenak orang-orang kampung.

***

Hujan menggila. Meranggas lebat tiada peduli waktu. Jalan sempit menuju gudang itu becek seperti adonan kue mentega. Tapi, truk-truk terus saja masuk dengan perut kosong dan keluar dengan perut sesak.

Sebuah bukit di hulu sungai mulai kelihatan, andai tak ada kabut mungkin bisa dihitung jari berapa kayu yang tersisa. Aminah sudah kelas 1 SMP, dahulu ketika guru kelasnya di kelas 3 SD menyuruhnya melukis bukit itu, ia bisa melukisnya dengan mudah. Cukup dengan menumpahkan pewarna hijau pada kertas gambar maka nampaklah pepohonan lebat seperti pada bukit itu.

Aminah dan teman-temannya tiada lagi bisa bermain di sungai sebab truk-truk itu kadang kurang ajar. Sudah banyak anak kecil jadi korbannya, tidak ada yang sempat meninggal tapi sejumlah anak cacat sampai tua. Pemilik gudang hanya menggantinya dengan uang berobat saat itu juga di Puskesmas terdekat. Dan sedos mie instan.

Ibu-ibu rumah tangga tiada lagi berdiam diri di rumah, sejak gudang itu berdiri semuanya bisa bekerja sekuat mereka. Balantieng penuh dengan batu dan kassi, mereka menguras sungai dari hari ke hari mengumpulkannya di tepian lalu truk-truk datang membawanya.

Sungai menganga dan semakin dalam. Setiap pulang sekolah Aminah hanya bisa bermain di tujubola. Sungai telah berubah jadi kering dan tak teratur. Kemarau berkepanjangan yang membuat debit air turun telah membuat sungai lebih mirip petakan-petakan sumur kecil. Dan batu-batu meranggas di mana-mana hingga ke tujubola.

Dan sebuah bulan penuh hujan membuat air mengamuk merembesi kaki-kaki bukit dan rumah-rumah tiada lagi nampak. Semua terseret arus, termasuk rumah kedua orang tua Aminah. Malam itu, Aminah dan Ayahnya sedang tidak di rumah ia menghadiri pengajian atas kematian pejuang veteran letenan Manra. Belum terlalu larut malam itu namun kebiasaan orang menyusup dalam selimut terlalu dini membuat kebanyakan orang terbawa derasnya air.

Gudang pun rata dengan tanah. Beberapa buruh yang telah terlelap tak bisa menyelamatkan diri, semua menjadi air. Dan air terus pasang, balantieng berdendang tidak sekesar bergoyang tapi juga melahap resana-kemari.

Itulah kisah setahun lalu, tapi selalu membekas. Kini, rumah-rumah bangun kembali dengan kecemasan. Pada malam hari angin dingin terpaksa dibiarkan menyusup ke dalam rumah. Jendela selalu dibiarkan terbuka. Gerimis yang lambat dan angin kencang selalu membuat orang-orang bersiap-siap untuk berlari ke atas bukit yang kerdil. Dan Aminah selalu terjaga pada malam hari tidak untuk berlari ketika air pasang tiba-tiba. Tapi truk-truk itu, setiap malam menanjak melintas masuk ke ujung jalan yang telah berubah jadi terminal. Dahulu tempat itu berdiri gudang dan lebih tepatnya, sebelum itu hidup seorang Puang Mido dan isterinya.

Aminah membuka pagi dengan gelisah, selalu begitu setiap hari setidaknya belakangan ini. Orang-orang berbisik-bisik tentang sebuah gudang baru yang akan dibangun. Dan truk-truk yang akan keluar masuk.

Di sebuah malam, Aminah berdiri di balik jendela, truk-truk lalu-lalang seperti dahulu. Tiba-tiba wajah Puang Mido menjelma di depannya, tersenyum sinis lalu terbang ke atas bukit pada pohon cemara yang kerdil. Mulai saat itu Aminah menutup jendela setiap kali malam larut dan mulai terbiasa pula dengan riuh truk-truk yang keluar masuk.

Macasar Agustus 2008

catatan

Balantieng (sebuah sungai di Bulukumba)

eh puang salimara-salimara.(nyanyian saat ada bencana alam)

doang (udang)

kassi(pasir)

gurilla (pasukan gerilya DI TII)

pasuunna (orang yang mengislamkan laki-laki)

gamacca (dinding)

lego-lego(bagian depan rumah panggung)

tomanang (keluarga tanpa anak)

tompong (alat penangkap ikan)

tujubola (kolong rumah panggung)

Merayakan Eksotisme Cerpen ASEAN

Oleh: Anis K Al-Asyari.

Masihkah cerita pendek (cerpen) memadati ruang pembaca? Ruang mencipta bagi sejumlah cerpenis? Atau ruang yang memikat untuk semacam pengantar diskusi di keseharian kita? Tiga pertanyaan di atas sepertinya tak banyak muncul dalam program penulisan cerpen Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung tanggal 28 Juli-2 Agustus 2008 di Cisarua Bogor. Yang dominan justru mengenai proses penciptaan karya yang bermetamorfosa, mencari bentuk dan beradaptasi terhadap kebutuhan pembaca, industri buku, media dan kenakalan para cerpenis.

Benturan Budaya dan Kreativitas

Empat Negara anggota Mastera yang hadir antara lain; Brunai Darussalam, Malaysia, Indonesia dan Singapura membawa spirit melayu dengan kebudayaan berbeda seperti sebuah pertemuan yang tidak asing.

Peserta dari Indonesia sendiri diwakili Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Alimuddin (Aceh), Anton Bae (Palembang), Putu Budi EY (Bali) Saifun Salakim (Pontianak), Ragdi F. Daye (Padang), Anis K Al-Asyari (Makassar), Imam Muhtarom (Surabaya), Fina Sato (Bandung) dan Nadhira Khalid (NTB), sepuluh nama tersebut sebagian besar adalah “pengarang muda” (meminjam istilah Putu Wijaya) yang mulai menyemarakkan media lokal, nasional dan pentas buku-buku cerpen yang belakang sangat kompetitif. Dan sebagian besar adalah cerpenis yang telah memenangkan beberapa lomba seperti Wa Ode Wulan Ratna (Pemenang Cerpen terbaik CWI 2005), Imam Muhtarom yang masuk sepuluh besar cerpen terbaik nasional yang diselenggarakan Bali Post 2002, Putu Budi EY cerpennya masuk sepuluh besar cerpen terbaik Indonesia versi Mendiknas 2007 dan beberapa pengarang lainnya yang telah memadati ruang media raksasa seperti kompas, media Indonesia, Horisin dan sebagainya. Ke sepuluh nama pengarang muda dari Indonesia tersebut juga telah menerbitkan sejumlah buku baik kumpulan cerpen, novel maupun puisi.

Wakil dari Malaysia antara lain Nazmi Yaakub adalah seorang cerpenis yang sekaligus sebagai jurnalis sebuah media sastra (Berita Harian Sdn Bhd) di Malaysia, penulis peranakan Tionghoa Tung Wai Chee, Ibnu Ahmad Al-Kurauwi yang telah menerima anugerah penulis terbaik, maupun Noorainie Othman yang dikenal sebagai novelis remaja. Brunei Darussalam mengutus empat pengarang muda; Azmi, Munshi, Efe dan Ima—nama-nama tersebut belakangan memadati tradisi penciptaan cerpen di Brunai. Sementara Singapura diwakili Ishak Latiff (cerpenis terbaik Singapura 2007), Roslie Sidik (karyanya masuk dalam Kota Tanpa Karya bersama pengarang se-ASEAN lainnya).

Selama bengkel penulisan berlangsung ruang diskusi lebih bersifat diskusi lepas dimana pengarang akan saling membaca karya dan melacak kelebihan dan kekurangan masing-masing karya. Peserta yang dibagi ke dalam tiga kelompok akan didampingi oleh para pembimbing seperti; Budi Darma (Novelis dan Kritikus), Oka Rosmini (Cerpenis dan Novelis), Helvy Tiana Rosa (Cerpenis) dan Joni Ariadinata (cerpenis) mewakili pengarang Indonesia. Pembimbing lainnya seperti pengarang produktif Encik Malim Ghazali (Malaysia), Zefrri Arief (Brunei) dan Langkah Seribu (Singapura) juga menjadi pembanding di setiap diskusi yang kritis dan terbuka.

Persoalan proses penggarapan cerita rupanya masih menjadi topik diskusi yang begitu berat dilepaskan. Kadangkala ditemukan sebuah karya yang penyajiannya sederhana tapi lebih mementingkan pesan yang ingin disampaikan. Ada pula sejumlah karya yang sebaliknya, penyajian yang mempesona tapi tidak jelas isi cerita. Kritikus Budi Darma pada akhirnya memetakan tiga karakter cerpen dari semua peserta antara lain: cerpen lokal, cerpen konvensional dan cerpen eksperimentatif. Ketiga varian tersebut sekaligus menandai adanya kehendak dari masing-masing pengarang untuk tidak sekedar mengarang atau mencipta tetapi juga bergerak jauh ke arah yang lebih menantang, fantastis dan melampauhi batas-batas imajinasi maupun bentuk penciptaan yang ada.

Isu lokal sangat kental terlihat dalam beberapa karya pengarang seperti Wa Ode Wulan Ratna lewat cerpennya Batavus yang mencoba kembali ke masa Jakarta 1950-an, Alimuddin dengan safrida Assakariyah yang membawa karakter perempuan Aceh ditengah perang dan konflik berkepanjangan. Alimuddin memunculkan karakter perempuan Aceh yang tegar, berani, sebuah manifestasi kehidupan perempuan yang dihantui kekerasan dan pelecehan seksual serta bayang-bayang kematian. Anton Bae dengan Bongen seolah-olah memperkenalkan kita pada legenda dan kekhasan sungai musi dan sejumlah sungai lainnya di Palembang yang penuh nilai histori. Anton menggali ornamen-ornamen lokal dengan menemukan persoalan sosial seperti kemiskinan yang muncul di ruang-ruang terpencil serta bagaimana spiritualitas masyarakatnya justru sangat kental dengan mentalitas yang kokoh.

Putu Budi EY menulis Bambu di Tebe sangat kental dengan warna lokal tidak saja pada tema cerita tetapi juga pada peletakan bahasa-bahasa lokal yang menyatu dalam struktur teks yang mengalir. Putu tidak saja menjelaskan dirinya sebagai orang Bali asli yang memahami perubahan-perubahan sosioligis yang ada tetapi juga seorang Bali yang gelisah menghadapi gempuran global yang sedemikian pesat. Bambu di Tebe jelas sebuah cerpen yang mengeksplorasi bagaimana mistisisme yang kental beratus-ratus tahun lamanya di Bali tumbang akibat teknologi dan benturan budaya yang masuk di sana. Kisah seorang anak gadis yang meminta ayahnya menebang bambu di belakang rumahnya (tebe) jelas mewakili adanya regenerasi di ruang lokal yang perlahan menghindar dari ruang lokal seperti kasus menanam bambu di belakang rumah yang kemudian hilang ditengah ruang kota yang mendesak.

Begitu pula dengan cerpen Fina Sato berjudul Lawalata yang mengeksplorasi ruang lokal suku Dayak. Cerpen bertemakan lokal tersebut seperti membawa kita pada sebuah keinginan untuk kembali memandang pada sesuatu yang dekat dengan diri. Kebudayaan dalam arti bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi bermetamorfosa cepat ditengah desakan zaman untuk berubah. Tema lokal ini sebenarnya sudah berkembang lima tahun terakhir ini seperti munculnya Oka Rosmini (Tarian Bumi) dan kecenderungan tematik pada kompetisi cerpen yang ada di Indonesia.

Isu lokal mungkin saja mewakili gejala sosial masyarakat yang mulai jenuh dan gelisah terhadap arus global yang menjauh dari nilai-nilai yang pernah ada. Kota yang penuh hirup-pikuk kendaraan dan gedung-gedung bertingkat men-suplai global warming, kriminalitas bahkan korupsi. Kepekaan sosial mulai hilang dan digantikan dengan perilaku individualistik dan serba instan. Dalam situasi tersebut, belakangan ini orang-orang kota sangat banyak yang merindukan desa, merindukan masa lalu dan mendambakan nilai. Cerpen bertema lokal bisa jadi semacam obat bagi mereka yang benar-benar merasa kehilangan spiritualitas nilai dan sejarah.

Penggunaan bahasa lokal dan setting lokal cenderung memaksa pembaca untuk lebih dulu mengenal sejarah dan sosiologis masyarakat. Hal ini tentu saja membebani pembaca yang sama sekali tidak mengenal ruang lokal yang ada dalam cerita. Oka Rosmini sendiri menyadari bahwa persoalan utama yang dihadapi dalam penggarapan isu lokal adalah penggunaan istilah lokal yang mesti dijelaskan melalui catatan kaki. Sesuatu yang tetap saja mengganggu pembaca untuk mengingat sejumlah kata-kata atau istilah bergaris miring. Oka Rosmini menyarankan agar pengarang mendeskripsikan setiap istilah lokal agar tidak menyulitkan pembaca. Cara ini memang bisa efektif dan memudahkan tapi jika istilah lokal dalam jumlah yang sangat banyak, beberapa pengarang berpendapat bahwa hal tersebut justru akan mengganggu penyajian cerita.

Apa pun cara yang dipilih pengarang untuk menghidupkan ruang lokal yang jelas tendensinya adalah menghidupkan wacana lokal sebagai perbandingan budaya akan sangat berharga bagi masa depan per-cerpenan dunia. Pembaca akan menemukan semacam telaah kritis yang lebih blak-blakan tentang diskrimininasi, kemelut sosial maupun sejarah dan nilai pada ruang-ruang lokal dalam cerita yang selama ini tersub-ordinasi.

Entah sampai kapan tema lokal ini bertahan ditengah isu-isu urban maupun tema seksualitas dan kekerasan justru berkembang pesat tanpa mengenal lokal maupun non-lokal. Atau jangan-jangan isu lokal dalam cerpen tersebut mewakili teriakan lokal yang tak berdaya oleh gempuran global dan sebentar lagi tutup usia dan merayakan kekalahan.

Pada sejumlah sesi dalam diskusi yang menghadirkan pengarang dengan latar belakang budaya yang berbeda justru tidak banyak mempersoalkan hal tersebut di atas. Ada kecenderungan kebanyakan pengarang menggarap isu lokal karena ketagihan bermain-main mesra dengan warna lokal yang unik itu. Semoga saja hal tersebut tidak menjamur dan mewarnai isu lokal pada cerpen yang ada. Tetapi sekali lagi membawa aroma lokal pada upaya menghidupkan makna, membuka kesadaran kritis dan tentu saja meluruskan distorsi sejarah yang mungkin ada.

Dari konvensional hingga eksperimen fiksi

Yang tak kalah menariknya adalah masih bertahannya cerpen berbau konvensional baik dalam struktur teksnya msupun pola-pola penyajian permasalahan di dalamnya. Nasi Ambeng karya Ishak Latiff (Sinagapura) memainkan struktur yang sangat formal khas cerpen yang sering kita jumpai sejak lama. Persis sama dengan Sebebas Merpati Putih (Saifun Salakim) yang dari judulnya saja begitu konvensional, teks-teks dalam cerpen ini kelihatan sangat menghindar dari narasi-narasi yang berat dan metafora.
Ragdi F Daye melalui Pemburu Babi memainkan narasi secara terencana antara pembuka cerita, awal konflik dan ending cerita sebagai konflik. Gaya penceritaan semacam ini juga terlihat pada Tanah Sunyi Wangi Kamboja karya Ibnu Ahmad Al-Kurawi, cerpen tersebut menggunakan alur yang sangat datar. Tidak saja dengan penyahian yang demikian ringan tapi penempatan konflik yang sangat konvensional sebagaimana film-film klasik. Karya lain semacam itu adalah Matahari karya Noraini Osman atau Nadhira Khalid dengan Sebuah Ruang Kosong.

Karya-karya konvensional tersebut umumnya memenuhi standar cerpen media popular maupun standar umum cerpen yang ada. Menariknya adalah ketika karya-karya tersebut mencoba mengetengahkan pesan-pesan secara tersurat sebagai kata kunci dari apa yang hendak disampaikan pengarang. Konflik yang sederhana mewarnai cerpen yang digarap secara konvensional—konflik amat tidak menonjol, sesuatu yang mewakili karakter budaya ketimuran seperti istilah Budi Darma.

Hal lain yang patut direnungkan adalah masih bertahannya gaya konvensional ditengah desakan penciptaan yang serba baru. Barangkali bukan persoalan bahwa kebanyakan pengarang tersebut terbatas pada pengalaman menulis demikian, tetapi dengan gaya itu mereka bisa lebih menemukan karya yang khas. Dan terutama kemudahan dalam mengolah imajinasi dan realitas sebagai fakta yang unik dalam teks.

Cerpen konvensional akan tetap mendapat tempat yang monumental sebab pada saat yang sama cerpen eksperimental begitu pesat dan seperti bergerak bebas tanpa batas. Hal itu sangat menonjol pada program penulisan Mastera 2008.

Apa batasan cerpen eksperimental itu? Setidaknya bisa kita lihat dalam hal penyajian dan bagaimana pengarang tersebut memainkan gagasan. Penyajian cerita secara eksperimental sudah pasti melanggar kebiasan-kebiasaan penceritaan dan kadang-kadang mengagetkan pembaca. Banyak kritikus memberi penilaian khusus terhadap cerpen eksperimen sebagai bagian dari kemajuan proses kreatif. Walaupun dalam beberapa sesi diskusi Mastera, Budi Darma kadangkala menyadari beberapa persoalan yang ada baik pada kebablasan yang terjadi pada penyajian maupun realitas-realitas aneh yang kadang muncul tanpa kausalitas yang kokoh.

Beberapa karya yang eksperimentatif pada Mastera 2008 antara lain; Ruslie Sidik Gerimis Duka di Kota Chennai yang memainkan teks-teks yang terpisah satu sama lain. Walaupun sebenarnya berangkat dari kisah cinta sederhana namun penggarapannya sangat berani dan mengebiri struktur alur cerita sebagaimana biasanya. Sementara Munshi lewat Aku seperti menghindari pola-pola formal penggunaan tokoh, Munshi lebih senang memainkan tokoh aku secara spesifik dan bebas tanpa mementingkan peran tokoh yang lain. Cerpen Aku pada akhirnya terlihat seperti bangunan esai yang penuh dengan pesan-pesan secara verbal. Dalam konteks cerpen sebagai karya fiksi, cerpen Munshi tersebut seolah mendobrak keterkungkungan pengarang terhadap pola-pola yang biasa. Lalu menawarkan semacam strategi unik, sekalipun kadang-kadang membingungkan bagi pembaca.

Begitupula dengan Pencuri Hidung karya Anis K Al-Asyari seolah mengembangkan narasi tanpa dialog sehingga pembaca diajak untuk menentukan dialog-dialog cerita pada narasi yang pasif. Ide cerita pada Pencuri Hidung seperti ditemukan begitu saja tanpa konsep awal, ceritanya mengalir dengan bebas lalu kadangkala memusingkan pembaca karena banyak sesi penceritaan yang kadang muncul tanpa pengantar yang spesifik.

Berbeda halnya dengan Imam Muhtarom yang menulis Anak Haram, karyanya seperti bukan karya Imam yang pada cerpen-cerpennya sebelumnya sangat progresif dan penuh metafora dan pergulatan tokoh. Seperti halnya Munshi, Imam juga larut dalam permainan yang otonom seorang tokoh aku yang bergerak bebas tanpa jelas kepada siapa ia bertemu dan bercerita. Anak Haram pun mirip esai yang didalamnya persitiwa tidak berlangsung secara berunut tapi lebih mengutamakan ideology pengarang secara blak-blakan.

Baik narasi eksperimentatif, konvensional maupun yang berbau lokal, cerpen-cerpen para pengarang muda ASEAN menunjukkan adanya pencarian bentuk terus-menerus tanpa melupakan pesan-pesan ideologis yang kental dengan budaya masing-masing. Semua itu menunjukkan adanya perkembangan yang pesat dalam dunia kepenulisan mutakhir di Asia Tenggara terutama cerpen. Kini, pengarang muda tersebut kemudian menyadari betapa pentingnya penciptaan karya berkualitas untuk memadati ruang-ruang sastra yang kompetitif hingga di media massa.

Itulah masa-masa yang paling eksotis per-cerpenan mutakhir yang sepertinya menandai kemungkinan posotif bangkitnya semangat untuk saling berbagi lewat sastra. Dan yang lebih penting adalah memajukan proses penciptaan bersamaan dengan pesatnya minat membaca masyarakat yang semakin hari semakin pening akibat derasnya gelombang teknologi dan kompleksitas persoalan--itulah eksotisme percerpenan yang sesungghnya.


Anis K Al-Asyari, Cerpenis, Delegasi Indonesia pada Program Penulisan Cerpen MASTERA 2008


;;