Rumah Air

cerpen: Anis K Al-Asyari.

Lebih sebulan air pasang di balantieng. Pohon-pohon tiada lagi baris-berbaris di sisinya, sungai itu telah menyerupai sawah menghampar siap tanam. Rumah-rumah pun tubuh dan tubuh terseret ke mana-mana bahkan ke muara. Perkampungan jadi lapangan sepak bola. Kematian tak terhitung banyaknya. Orang-orang menggigil berlari ke bukit memeras air mata dan bernyanyi eh puang salimara-salimara.

Setahun telah berlalu. Rumah-rumah panggung bangun kembali. Berderet-deret di sisi balantieng, wajahnya cemas dan jendelanya terbuka terus. Walau air telah surut seperti semula, perkampungan tiada seramai sebelumnya. Anak-anak tak banyak ditemui bermain air atau mencari doang. Riuh air terdengar lembut di telinga ketika malam hari nan dingin.

Rumah terasa berenang di permukaan air, melenggok-lenggok, bernyanyi. Burung-burung berseruling, berdendang pula ikan-ikan kerdil yang masih tersisa. Aminah terpaksa bangun tengah malam ia mendengar sebuah truk melintas depan rumahnya. Matanya melejit lewat cela kecil dan ia pun menyaksikan tiga truk berderet-deret melewati jalan sempit dengan perutnya yang kosong.

Truk itu berhenti tak lama kemudian, Aminah tahu persis apa yang sedang terjadi malam itu. Aminah terjaga, ia menunggu truk-truk itu melintas kembali dalam keadaan kenyang. Anjing menyalak mengejar-ngejar truk yang berjalan lambat tertatih-tatih. Perlahan jalan lengang dan gelap, anjing-anjing berpencar seperti sibuk mencari sesuatu yang hilang.

Pagi hari tepat ketika air sungai kehijauan nan dingin. Aminah segera ke ujung jalan sempit melewati pesisir sungai. Hamparan luas itu telah berubah jadi terminal pengangkutan batu-batu, kassi, dan kayu-kayu yang entah kenapa selalu datang setiap kali malam menanjak. Dahulu tempat itu adalah kebun cokelat Puang Mido, seorang petani yang tanahnya digugat oleh seorang pendatang yang mengaku ahli waris.

Puang Mido digugat ke pengadilan, tapi ia tak pernah mengindahkan surat panggilan. Ketika pejabat berwenang datang meminta bukti-bukti kepemilikan tanah, ia hanya bercerita panjang tentang masa lalu ketika tanah itu diwariskan untuknya dari seorang gurilla bernama Umar.

Kira-kira empat puluh tahun lalu, puang Mido dihadiahi tanah tersebut berkat jasanya sebagai penyiar agama dan passunna para lelaki baliq di kampung. Tidak ada surat perjanjiannya memang, tapi Puang Mido masih punya saksi hidup. Letenan Manra, dahulu tentara yang kebetulan terlibat langsung dalam pembunuhan Umar sempat mendengar dengan telinga sadar wasiat Umar. Dua anak laki-laki Umar masih hidup, keduanya menggarap sawah yang juga warisan dari ayahnya. Tentu saja sawahnya tidak dilengkapi dengan surat-surat.

“Bapak bertanya langsung pada ketiga orang itu?” seru Puang Mido.

“Kami butuh surat-surat pak, bukan bukti lisan” sela seorang petugas yang kemudian melangkah keluar dari rumah panggung berdinding gamacca. Orang-orang itu berjalan cepat menuruni tangga demi tangga dengan sentakan sepatunya seperti bunyi batu yang ditumbukkan ke permukaan kayu. Puang Mido mengelus dadanya menarik nafas dan terus dihantui keheranan. Berpuluh-puluh tahun lamanya petugas pajak datang menagih dan tanpa banyak cincong ia melunasinya dengan ikhlas. Kenapa juga datang orang yang mengaku ahli waris yang sesungguhnya? Di depan lego-lego, Puang Mido menggeleng-gelengkan kepala ia tak habis pikir dan terus dihantui keheranan.

Rumah Puang Mido persis di tengah kebun. Walau tergolong kecil, sebuah dapur dan jambangan, sebuah kamar tamu yang sekaligus sebagai kamar tidur, rumah itu tiada pernah kekurangan makanan. Beras selalu datang dari kerabatnya, selain itu isteri Puang Mido sangat tekun membantu sejumlah petani dan mendapat upah yang lumayan untuk hidup mereka berdua yang tomanang.

Ikan-ikan tersedia di sungai, dari ikan mujair sampai gabus. Sayur-sayuran tumbuh dipagar-pagar kebun meliuk-liuk ke pohon ambas seperti ular sanca. Hari-hari begitu menyenangkan dengan makanan yang dimasak sederhana dan sejup pepohonan dan riuh sungai dengan air bening.

Aminah masih ingat betul kisah bermain di sekitar rumah Puang Mido, membuka pagi dengan memeriksa tompong. Aminah bisa menyaksikan doang bergerombol dalam tompong dan ia selalu dapat jatah. Isteri Puang Mido senang anak kecil mungkin karena itulah ia pun memelihara anjing yang berkembang biak begitu banyak. Itulah pengganti anak-anak yang bertahun-tahun tak mengisi rumah sederhana tersebut.

Sebelum air pasang di balantieng penggugat tanah semakin gencar membujuk Puang Mido. Awalnya dengan bujukan ringan bahkan dengan tawaran sejumlah uang pengganti, rumah permanen di pinggir jalan trans-sulawesi atau tanah pengganti. Puang Mido tidak mau kompromi, ia tetap bersikeras tinggal di kebun tersebut meski harus menghadapi mati.

Dan sebuah kejadian naas menjelang bulan Agustus tiga bulan sebelum air pasang di balantieng, Puang Mido dan isterinya ditemukan beku di pintu pagar masuk kebunnya. Keduanya penuh luka, kedua matanya terbuka sementara kedua tangannya menggenggam erat kawat besi yang runcing. Petugas dan tim medis datang hendak mengangkat sepasang suami-isteri tersebut, namun tetap saja jemari mereka begitu kokoh berpegang pada kawat. Seorang petugas memotong kawat tersebut, tapi potongan kawat masih dalam genggaman keduanya.

Matanya masih menyala dan bibir yang sedikit terbuka seolah sinis pada setiap yang datang melihatnya. Barulah ketika Letenan Manra datang menyampaikan pesan dari Puang Mido semasa hidup, jasad keduanya bisa melunak. Keduanya dikubur tepat di pertengahan kebun miliknya. Pohon-pohon tumbuh subur di sekitarnya, air bening bernyanyi histeris.

Rumah panggung itu pun sepi, tiada lagi anak-anak kecil yang datang bermain. Anjing-anjing Puang Mido kemudian berkeliaran bebas melintasi kampung, semuanya berubah buas dan menakutkan bagi anak-anak. Aminah ingat betul ketika anjing-anjing itu memburuh sejumlah orang yang pada sebuah malam datang merobohkan rumah tua di tengah kebun. Tapi, sebuah senapan meletup berkali-kali, satu persatu anjing-anjing itu mati. Dan sebagian pergi menjauh. Keesokan harinya, Aminah melihat orang kampung menyeret jasad sejumlah anjing ke sungai, air mengalir lambat membawanya pergi jauh.

Di kebun Puang Mido terdapat sebuah papan bertempel tulisan sebuah nama yang berarti pemilik tanah tersebut. Aminah tak mengenal nama tersebut, ketika ia mendekat ke dalam kebun bersama teman-temannya ia melihat sisa-sisa pembakaran, pakaian, piring-piring plastik dan tompong Puang Mido. Semuanya jadi abu. Ketika siang datang bersama angin sepoi, abu tersebut beterbangan dan yang tertinggal hanya kuburan sepasang suami isteri, nisannya sudah tiada pula, hanya gundukan tanah yang dari hari ke hari ditumbuhi rumput yang subur lalu terlihat sama dengan permukaan tanah lainnya.

Sebulan kemudian, pohon cokelat rata dengan tanah. Sebuah pondasi tinggi muncul dari bawah tanah, pelan-pelan lalu berubah jadi bangunan menyerupai rumah tahanan. Di atas tanah tersebut telah berdiri gudang. Kuburan Puang Mido dan isterinya tiada lagi terlihat di sana, kuburan itu hanya ada dibenak orang-orang kampung.

***

Hujan menggila. Meranggas lebat tiada peduli waktu. Jalan sempit menuju gudang itu becek seperti adonan kue mentega. Tapi, truk-truk terus saja masuk dengan perut kosong dan keluar dengan perut sesak.

Sebuah bukit di hulu sungai mulai kelihatan, andai tak ada kabut mungkin bisa dihitung jari berapa kayu yang tersisa. Aminah sudah kelas 1 SMP, dahulu ketika guru kelasnya di kelas 3 SD menyuruhnya melukis bukit itu, ia bisa melukisnya dengan mudah. Cukup dengan menumpahkan pewarna hijau pada kertas gambar maka nampaklah pepohonan lebat seperti pada bukit itu.

Aminah dan teman-temannya tiada lagi bisa bermain di sungai sebab truk-truk itu kadang kurang ajar. Sudah banyak anak kecil jadi korbannya, tidak ada yang sempat meninggal tapi sejumlah anak cacat sampai tua. Pemilik gudang hanya menggantinya dengan uang berobat saat itu juga di Puskesmas terdekat. Dan sedos mie instan.

Ibu-ibu rumah tangga tiada lagi berdiam diri di rumah, sejak gudang itu berdiri semuanya bisa bekerja sekuat mereka. Balantieng penuh dengan batu dan kassi, mereka menguras sungai dari hari ke hari mengumpulkannya di tepian lalu truk-truk datang membawanya.

Sungai menganga dan semakin dalam. Setiap pulang sekolah Aminah hanya bisa bermain di tujubola. Sungai telah berubah jadi kering dan tak teratur. Kemarau berkepanjangan yang membuat debit air turun telah membuat sungai lebih mirip petakan-petakan sumur kecil. Dan batu-batu meranggas di mana-mana hingga ke tujubola.

Dan sebuah bulan penuh hujan membuat air mengamuk merembesi kaki-kaki bukit dan rumah-rumah tiada lagi nampak. Semua terseret arus, termasuk rumah kedua orang tua Aminah. Malam itu, Aminah dan Ayahnya sedang tidak di rumah ia menghadiri pengajian atas kematian pejuang veteran letenan Manra. Belum terlalu larut malam itu namun kebiasaan orang menyusup dalam selimut terlalu dini membuat kebanyakan orang terbawa derasnya air.

Gudang pun rata dengan tanah. Beberapa buruh yang telah terlelap tak bisa menyelamatkan diri, semua menjadi air. Dan air terus pasang, balantieng berdendang tidak sekesar bergoyang tapi juga melahap resana-kemari.

Itulah kisah setahun lalu, tapi selalu membekas. Kini, rumah-rumah bangun kembali dengan kecemasan. Pada malam hari angin dingin terpaksa dibiarkan menyusup ke dalam rumah. Jendela selalu dibiarkan terbuka. Gerimis yang lambat dan angin kencang selalu membuat orang-orang bersiap-siap untuk berlari ke atas bukit yang kerdil. Dan Aminah selalu terjaga pada malam hari tidak untuk berlari ketika air pasang tiba-tiba. Tapi truk-truk itu, setiap malam menanjak melintas masuk ke ujung jalan yang telah berubah jadi terminal. Dahulu tempat itu berdiri gudang dan lebih tepatnya, sebelum itu hidup seorang Puang Mido dan isterinya.

Aminah membuka pagi dengan gelisah, selalu begitu setiap hari setidaknya belakangan ini. Orang-orang berbisik-bisik tentang sebuah gudang baru yang akan dibangun. Dan truk-truk yang akan keluar masuk.

Di sebuah malam, Aminah berdiri di balik jendela, truk-truk lalu-lalang seperti dahulu. Tiba-tiba wajah Puang Mido menjelma di depannya, tersenyum sinis lalu terbang ke atas bukit pada pohon cemara yang kerdil. Mulai saat itu Aminah menutup jendela setiap kali malam larut dan mulai terbiasa pula dengan riuh truk-truk yang keluar masuk.

Macasar Agustus 2008

catatan

Balantieng (sebuah sungai di Bulukumba)

eh puang salimara-salimara.(nyanyian saat ada bencana alam)

doang (udang)

kassi(pasir)

gurilla (pasukan gerilya DI TII)

pasuunna (orang yang mengislamkan laki-laki)

gamacca (dinding)

lego-lego(bagian depan rumah panggung)

tomanang (keluarga tanpa anak)

tompong (alat penangkap ikan)

tujubola (kolong rumah panggung)

1 Comment:

  1. Anonim said...
    ass...
    kanda, pha kabar?
    by : AKU LESBIAN

Post a Comment